Mohon tunggu...
Arip Senjaya
Arip Senjaya Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, pengarang, peneliti

Pengarang buku, esai, dan karya sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Fiksi Murni

3 Juni 2022   08:52 Diperbarui: 3 Juni 2022   08:57 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Adalah ngeri sebenarnya jika terbukti kelak bahwa bahasa dan realitas tidak berhubungan sama sekali. Semua yang kita katakan adalah realitas tersendiri saja ---fiksi murni--- dan sebenarnya kita sedang sibuk dengan diri kita masing-masing sepanjang sejarah dan di sejarah mana pun. Lalu hanya ada satu kata "Allah" yang terbukti, yakni kata yang dengan rujukannya berkorespondensi secara akurat. Kita akan malu tentu melihat semasa hidup ternyata kita sama saja dengan Firaun meski kita tidak mengatakan kita Tuhan, tapi di atas bahasa kita mencipta apa saja dan berkuasa terhadap segalanya, juga terhadap "Tuhan".

Katakanlah kita berhasil lolos dari bahasa lalu dengan apa kita memasuki realitas? ---Oh, kesadaran! Kesadaran hanya mungkin ada dengan perantara bahasa. ---Oh, kalau begitu betapa bahagia hewan-hewan dan tanaman! Mereka tidak berbahasa ---Oh, insting? Betapa kejam kita menilai mereka, sedangkan kesadaran kita masih mengantarkan kita ke lapangan tembak untuk bunuh diri atau membunuh sesama dengan peluru-peluru bahasa.

Kapan kita menghidupkan diri kita sendiri andai sebuah kata "kun" tidak pernah diucapkan ke arah kita?

Melalui kata "intertekstualitas" mestinya kita sadar bahwa kita memang makhluk yang menyerahkan diri pada segala yang sudah tercemar di belakang kita. Sejarah bahasa kita adalah sejarah penerusan ketercemaran bahasa para pendahulu kita yang sudah beracun di masa lalu, ditambah lagi dosisnya di masa sekarang oleh kita masing-masing.

Para martir yang bunuh diri karena kata "cinta" tak pernah cukup jadi pelajaran betapa kerasnya racun bahasa kita. Romeo-Juliet belum pernah cukup jadi teladan. Belum kita bicara "keadilan", "kemanusiaan", "toleransi", "iman", dan masih banyak kata lainnya.

Kalau intertekstualitas itu benar, kita mungkin butuh penjelasan tentang bahasa paling awal yang murni itu. Apakah kata-kata tersebut ada di dalam kitab-kitab suci kita? Aku hanya yakin setelah "kun" hanya ada kata berikutnya "fayakun". Maka kita tidak menciptakan jisim, juga tidak menciptakan jirim[1].

 

Apa? Il n'y a pas de hors-texte?

  [1] bahasa Sunda, jisim adalah ruh, dan jirim adalah wujud.

 

Tidak ada apa pun di luar teks? Tidak! Tidak ada apa pun di dalam teks! Kalau kau mengatakan ada, itu adalah ada yang kau adakan. Kalau kau bilang tidak ada apa pun di luar teks, kau tak peka dengan titik berangkatnya. Tak mungkin yang beracun dimulai tanpa kemurnian, tak mungkin semesta fiksi dunia di atas bahasa tanpa permulaan. Kau tak langsung sematang dan sepemikir itu. Pada mulanya kau pun murni saat lahir. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun