Mohon tunggu...
Arip Rip
Arip Rip Mohon Tunggu... Lainnya - keep calm you have self confidence

Lahir di Kotamobagu, Sulawesi Utara dan saat ini bertugas sebagai ASN pada salah satu Biro Hukum Sekretariat Kementerian Koordinator. Berdomisili di area Bogor serta menyukai berbagai sajian kuliner nusantara, merupakan pencinta tempe gembus dan tahu bakso yang hobby menulis, traveling dan musik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Perindu

11 April 2021   06:36 Diperbarui: 11 April 2021   06:39 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kuterima takdirku sebagai perindu yang baik. Tak peduli pagi, siang, sore atau malam selalu dalam timangan rindu, terayun-ayun dalam vibrasi kata rindu. Susah senang dihajar rindu, gelisah, haru, takjub, jengkel, tertawa, menahan pipis direcoki rindu. Rindu tempo dulu, saat tubuh kecil masih membersamai jiwaku.

Bila musim kembang jambu air tiba, aku rindu merah fusia warnanya, bergerombol menjuntai membebani setiap dahannya, membuat batang pohon seperti terengah engah berteriak minta tolong bila diterpa angin, untuk alasan itu aku akan lari tergopoh gopoh memetiknya banyak-banyak, hingga sekonyong konyong tangan nenek tua akan menjewer telingaku, sembari mengomel penuh tenaga.

"Jangan nyolong lagi ... codot kepala item !!!".   

Bila musim cabai keriting merah tiba, Aku rindu nasi kucing bu Zarkasih istri penjaga kantin sekolah dasar, sambal tanpa bijinya ibarat perpaduan irama gambus dan dangdut koplo, membuat setiap murid SD Pucangan V rela tercepuk cepuk berjejalan antre, dorong mendorong saling sikut, saling gertak adu mulut, jambak-jambakan rambut hingga tak pelak penuh tangis bocah ingusan, hanya untuk meraih nasi hangat berlauk bandeng dan sambal terenak di dunia hingga ludes tak bersisa.

Bila musim panen tebu tiba, aku rindu marah besar sang penjaga tebu. Lengan baju disingsingkan hingga atas, mata melotot menahan tangis sedih, karena bisa jadi akan diomelin habis oleh pimpinan perusahaan. Rupanya ia terkecoh oleh kebegundalan anak-anak dusun, tebu rapi dan indah dibarisan depan, dengan bunga putih lembut menjulang menyapa langit, berjajar bak pagar ayu di parade karnaval tujuh belas agustusan, namun lebar menganga dibagian tengah, ludes kosong melompong bagai diterjang Badai Katrina. Kamilah pelakunya, bocah -- bocah kurang camilan dan kurang adab. Tanpa  merasa bersalah setiap pulang sekolah menyantapi tebu sebagai penambah daya tahan tubuh pengganti gula pasir di rumah.

Bila musim penghujan dan bahu sungai penuh pasir ladhu tiba, bukan hanya aku yang menyimpan rindu,  melainkan anak beranak dusun yang tak sabar bermain perang perangan digumuk kali, dengan lakon saur sepuh membahana yang terkadang kisahnya terdistorsi dengan Tutur Tinular, dengan mahkota daun nangka yang menjulang tak simetris tersemai di kepala dan anggukan pemimpin permainan setiap kali adegan.

Peranku, tak pernah berganti sepanjang musim.... menjadi Empu Bajul yang bengis dan jahatnya minta ampun. Hanya karena badanku kecil dan pendek, dengan suara teriakan mirip beruk bila tertimpa buah kelapa. Padahal aku merasa wajahku masih ada sedikit manis manisnya, namun itu tak menolong sedikitpun.

Suatu kali aku memohon dan merengek pada Mas Heri pimpinan perang perangan,  untuk memberiku peran yang lebih bermartabat dari seorang pencoleng bandit sableng, namun selalu ditolak dengan dalih tak ingin kehilangan marwah adegan film. Sungguh.... usahaku sia sia.

Dengan tongkat pemandu kejahatan, biasa ku libas pasukan Kerajaan Madangkara.... sampai kocar kacir, terkentut-kentut tunggang langgang lari tercebur sungai. 

Namun jangan ditanya bila Brama Kumbara dan Mantili tiba,  Empu Bajul berubah menjadi kutu kupret yang harus rela menjadi bahan amuk massa. Dipenuhi ketidakberdayaan dan penderitaan yang tiada terperi. Tubuh kecil Bajul digulung gulung diatas pasir ladhu ditendang dan dilukai dengan pedang setan.

Kali ini ku lobby mas Heri

"Tolonglah kak, beri aku peran yang lain.... tak mengapa aku menjadi prajurit cecunguk, siku lenganku lebam tertampol pedang Mantili...!" tukasku.

"Baiklah... kali ini kuizinkan" jawabnya.

Aku girang bukan kepalang, pada kesempatan ini memerankan burung  rajawali kendati teman teman menahan tawa.

Penderitaan belum berakhir coyy... Brama yang diperankan anak SMP menaiki rajawali  kecil peot dan terseok seok menahan beban berat di punggung, memeluk pohon waru pinggir sungai.... sembari berdoa agar permainan unfaedah ini segera berakhir.

Bila musim kemarau penuh debu tiba,  aku rindu alunan dangdut dari dusun sebelah, anak beranak berduyun duyun...menyaksikan perhelatan akbar tahunan. Antusias dimulai dengan membantu membuat panggung di halaman rumah dari meja makan seluruh penduduk kampung. Bila itu terjadi, maka mereka harus merelakan nasi,  lauk pauk,  sayur harian, dan buah pencuci mulut teronggok di pojokan dapur, di lewati kawanan tikus tak berpendidikan yang sesekali menggondol lauk ayam atau tahu tempe.

Bila telah selesai menghias panggung dengan indah, kami duduk manis tanpa beban, sedikit hirau dengan suasana hectic muda mudi dan orang tua yang hanyut dalam pembicaraan ghibah, tentang siapa penyanyi cantik yang akan mendendangkan lagu "lima menit lagi" nanti malam, siapa pembetot gitar melodi, siapa penjaja dagangan es potong yang boleh lalu lalang di sekitaran area panggung, siapa yang dengan sudi, suka rela menjaga parkiran dan siapa yang akan berjaga-jaga bila ada keributan karena pemabuk selalu menunggu momen untuk ikut berjoget, meringsek ke atas panggung.  

Berjam-jam menantikan sang biduan, akhirnya gadis dengan pakaian kemerlip muncul dari bawah panggung. Benar-benar menghianati suasana malam hari, karena kilau bajunya seperti membopong aliran listrik 1000 watt dari gardu listrik. Rok mini yang dikenakan kuning emas senada dengan gelang warna emas yang dikenakan dari pergelangan tangan sampai siku, bahkan ada gelang terselip ditelinga, berputar putar seperti sedang memeras cucian basah. Aksesorisnya seperti toko emas berjalan, aku rasa ia sengaja mengundang aksi kriminalitas di kampung ini. 

Dengan potongan rambut semacam suster panti wreda, hampir dipastikan dia adalah sobat ambyar di masanya. Menyapa seluruh warga dengan suaranya yang syahdu, penonton melonjak menyambut seruan dengan siulan yang mengalahkan suara diesel, riuh dalam kegembiraan luar biasa. Begitu musik mengalun sang penyanyi dengan teriakan lantang bernayanyi sejadi jadinya dan warga kampung berjoged dibawah panggung ... disamping pohon jambu monyet dengan gegap gempita, lupa utang, lupa belum membayar tagihan listrik, lupa belum mematikan kompor, benar-benar lupa daratan, bahkan ada yang lupa siapa dirinya sendiri.

Tak kuasa menahan rasa penasaran kami... anak anak kurang pendidikan agama ini akan berlari ke kolong panggung, berharap dapat melihat sang biduan dari bawah, teman teman begitu antusias....terkekeh kekeh hanyut dalam lenggak lenggok goyangan penyanyi yang meronta ronta merongrong seluruh sisi panggung, sementara aku tak pernah dapat melihat apapun.... karena  mataku kerantapan debu dari sendal jinjit biduan yang melonjak lonjak tak karuan, sepanjang pertunjukan mengucek mata yang perih tiada tara.

Riuh gemuruh penonton menyamarkan suara sang biduan....begitulah seterusnya berjam- jam hingga pertunjukan dangdut telah usai.

Dentum musik dan dendang suara penyanyi menjadi tak berarti, sebab dangdutan hanya menjadi ajang berkumpulnya orang kampung di malam hari, dengan suara diesel dari jarak dua puluh lima meter, riuh rendah cekikikan deretan bapak-bapak perokok lintingan sendiri yang tidak terstandardisasi, ibu-ibu tukang gosip yang tak berhenti melakukan investigasi, nenek-nenek jarang ke langgar, kakek-kakek puber dilanda badai asmara ketiga, dan remaja yang sedang nakal-nakalnya menghianati esensi seni yang bermuara pada halusnya budi pekerti dan kemaslahatan.

Oh dunia ....ampuni kami ya Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun