Pesantren adalah lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia, yang mulai diperkenalkan di era Wali Songo hingga saat ini yang tetap eksis. Sebagaimana layaknya lembaga pendidikan, tujuan dari pesantren adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan pendidikan, baik akademik dan non akademik, serta mengupayakan membentuk karakter santri yang berakhlaqul karimah.
Di era modern ini, semua aspek tidak bisa dilepaskan dari ruang lingkup promosi dan manajemen, bahkan sebuah pesantren jika tidak dikelola dengan baik dari dua sisi ini akan terjadi sebuah ketimpangan. Oleh sebab itu, untuk mempertahankan keeksisan sebuah pesantren, diperlukan kematangan manajemen agar apa yang telah dimiliki dapat dipertahankan dan dikelola dengan baik. Promosi juga harus dirancang sedemikian rupa, up to date dan menarik sehingga memancing keinginan kuat para calon santri.
Bagi penulis sendiri yang merupakan seorang santri, masa depan pesantren kini seakan berada di ujung tanduk. Mengapa? Banyaknya kasus yang mencoreng nama baik sebuah pesantren akhir-akhir ini, yang tidak perlu dibahas satu per satu.
Jika muncul pertanyaan, siapakah yang dapat menyelamatkan pesantren di tengah gempuran cacat yang dibuat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab? Jawabannya adalah santri itu sendiri, literally santri, bukan Kiai.
Mengapa? Sebab, basically santri adalah produk dari pesantren, sedangkan Kiai adalah yang mengelola produk tersebut. Sebagaimana umumnya, masyarakat lebih menilai hasil daripada proses.
Apa hal yang bisa dilakukan oleh seorang santri dalam mengupayakan mempertahankan manisnya nama pesantren? Jawabannya adalah menerapkan filosofi pesantren, yakni menanam nilai-nilai akhlqul karimah dalam diri setiap individu. Sebagaimana pendapat dari KH. Afifuddin Muhajir (Rais Syuriah PBNU), akhlaqul karimah merupakan nilai yang kompleks, baik secara ruhani maupun batin, yang merupakan identitas seorang santri. Dan berbeda jauh dengan sopan santun yang bisa diterapkan oleh banyak orang.
Mengapa poinnya adalah santri yang berakhlaqul karimah?
Pendapat ini muncul dalam benak penulis setelah memetakan dua golongan sebagai calon santri dan wali santri. Golongan pertama adalah mereka yang berasal dari lingkungan pesantren, dan golongan kedua adalah mereka yang tidak memikiki kedekatan dengan pesantren.
Bagi golongan pertama, sudah ada kemantapan dalam hati untuk menyerahkan putera-puterinya ke dalam sebuah pesantren, karena mereka percaya bahwa pesantren adalah tempat yang mulia dan aman dari budaya yang merusak moral. Akan tetapi, kepercayaan ini bisa pudar jika mendapati oknum-oknum pesantren yang bahkan lebih amoral dibanding mereka yang tidak berasal dari pesantren.
Golongan yang kedua adalah golongan awam tentang informasi seputar pesantren, golongan ini tentu hanya mendapatkan informasi sekunder, bukan informasi primer yang berupa kegiatan santri, prestasi dan pengembangan. Bagi golongan kedua, peran seorang santri sangat vital untuk memutuskaskan pilihan bergabung dengan pesantren, atau tidak sama sekali. Sebab, bagi mereka first impression dan contoh umum adalah aspek penilaian utama. Jika yang dilihat pertama kali adalah santri yang berakhlaqul karimah, dan contoh umum juga demikian, maka akan menimbulkan rasa percaya jika pesantren adalah tempat membentuk karakter yang mulia. Namun sebaliknya, jika first impression dan contoh yang didapat adalah santri yang amoral, tentu akan menjauhkan golongan tersebut kepada pesantren.
Jika anda seorang santri, jagalah gelar tersebut dengan hati. Sebab, buah busuk dalam sebuah pohon bukanlah sebuah alasan untuk membiarkan citra pohon atau bibit tersebut rusak. Marilah para santri, tunjukkan jati diri kita dengan zirah akhlaquk karimah. Sebab, masa depan pesantren ada dalam benak kita. Dan jangan lupakan misi utama, yakni waratsatul anbiya'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H