[caption id="" align="aligncenter" width="384" caption="Ahok dalam Kick Andy"][/caption] Apalagi namanya kalau bukan tokoh politik yang ngasal, Ahok yang tadinya kader partai kecil di Bangka Belitung datang ke Jakarta justru membelot ke partai besar milik pengusaha untuk menduduki kursi DPR. Belum lagi selesai masa jabatannya, dia malah dengan ngasal pula mengumpulkan tanda tangan dan bahkan sumbangan masyarakat untuk maju sebagai calon DKI 1 lewat jalur independen. Dia pun gagal mewujudkan ambisinya lewat jalur independen, yang memang adalah sebuah keputusan aneh, karena sebenarnya secara literatur dia adalah kader partai. Bukan partai kecil bahkan, tapi partai yang sudah pernah merasakan rasanya 32 tahun berkuasa layaknya raja-raja jaman kuno. Dan kali ini, lengkaplah sudah dia sebagai tokoh politik ngasal, dengan pindah lagi ke partai pimpinan jenderal untuk dicalonkan sebagai DKI 2. Saya mengenal ahok bukan baru pada saat pilkada ini saja, tapi sekitar dua tahun lalu di sebuah acara kepemudaan dimana dia diundang sebagai pembicara. Dia mengendarai sebuah mobil sedan yang memang tidak semewah mobil-mobil kompatriotnya di senayan sana. Hanya sebuah mobil itu yang membawa dia, tidak ada iring-iringan polisi dan tidak ada wartawan pribadi. Dia bersama seorang pemuda dan seorang lagi pemudi. Tempat itu agak jauh dari kota Bandung, apalagi dari kota Jakarta. Pada saat dia datang, kami sedang makan dan dia duduk saja di dekat situ dan berbicara dengan teman-teman pemuda tentang politik dan pengalaman. Para pemuda itu mendengarkannya dengan sangat seksama dan begitu antusias. Saya pada saat itu lebih antusias dengan makan siang yang ada dan dingin segarnya udara daerah Lembang. Saya tak mengenalnya saat itu, saya hanya tahu dia anggota DPR dan setahu saya anggota DPR itu adalah bahan lelucon para mahasiswa idealis dan masyarakat umum. Sebuah sasaran hiburan yang tepat bagi masyarakat di negara ini yang sepertinya bosan melihat birokrasi negaranya yang seakan tak ada harapan. Beginilah cerita tentang Ahok si tokoh politik ngasal itu yang pada saat itui dia utarakan. Dia adalah anak keturunan Tionghoa yang lahir di Bangka Belitung, dia lulusan sebuah perguruan tinggi di daerah Jawa. Ayah Ahok memberikan sebuah pesan padanya yang kira-kira begini : "Nak, keinginan ayah sebenarnya bukan kau menjadi pengusaha melainkan menjadi pejabat di negeri ini, karena kita adalah penduduk Bangka Belitung, Orang Bangka, Orang Indonesia dan bukan penduduk Cina. Kita berhutang pada tanah ini, maka jadilah pejabat dan sejahterakanlah masyarakatnya". Tentu saja, itu bukanlah pesan gampangan apalagi untuk etnis Tionghoa yang sering menjadi korban kala negara ini menghadapi keruntuhan sebuah rezim. Ya, dari situ kita bisa belajar satu hal, bahwa sifat ngasal Ahok memang adalah sifat genetik tuunan. Ya Ahok pun menuruti perintah orang tuanya, dia keluar dari pekerjaannya yang menurut dia sebenarnya sudah memberikan kesejahteraan cukup bagi dia dan keluarganya. Dia memulainya dari sebuah partai kecil yang mungkin bukan salah satu partai yang saya ingat dari puluhan partai yang ada setelah jaman reformasi. Untuk hal ini, saya tidak menuliskan nama partainya bukan hanya karena saya takut dituntut tapi juga karena saya memang benar-benar lupa. Kalau anda bertanya pada saya, dari hal ini saya bisa melihat bahwa Ahok ini memang tokoh politik yang asal saja. Cina dan agama minoritas mau berpolitik masuk partai yang kecil pula untuk karir politik di sebuah daerah dengan 93 persen berkepercayaan berbeda dengannya. Dan pula daerah itu sudah dikenal sebagai salah satu basis partai berlambang benda-benda langit. Sebelumnya saya coba mengingatkan bahwa negara ini Indonesia, bukan Eropa yang sejak jaman Napoleon sudah tidak lagi mengutamakan latar belakang agama, suku atau tetek bengek lain dalam karir kepemimpinan kecuali kapasitas dan kompetensi. Sebagaimana pepatah mereka : "Every French soldier carries in his cartridge-pouch the baton of a marshal of France." ~ Semua tentara memiliki tempat melekatkan lencana panglima di pakaiannya (sebagai tanda bahwa siapa saja bisa menjadi pemimpin, jika memang layak). Saya lupa bagaimana ceritanya, jadilah dia anggota DPRD dan lalu masuk dalam kompetisi sebagai calon bupati disana. Dia mengaku terang-terangan bahwa dia tidak punya cukup uang, dan dia pun "dibekingi" para teman dari kalangan pengusaha untuk dana kampanye ala kadarnya demi mencetak atribut kampanye. Dia mempunyai satu hutang kepada teman-teman pengusaha, yakni agar jika terpilih kelak maka dia harus mau menjadikan segala birokrasi Bangka Belitung bersih sehingga para pengusaha tidak perlu lagi menyuapi para pejabat untuk segala urusan bisnis mereka. Menyadari tak mungkin menang kalau harus memberikan uang pada para pemilih agar memilihnya, Ahok pun memilih untuk sebagian uang atribut kampanye dia habiskan mencetak beberapa iklan seperti "Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya", dan beberapa frase lainnya yang berusaha menyudutkan politik uang. Harus saya akui, disini dia cukup cerdik menyikapi segala kekurangan dari sikap "asal"-nya sebelumnya. Dengan banyak meyakinkan masyarakat bahwa program kerja miliknya adalah orang miskin gratis berobat dan gratis sekolah dia pun memenangi pilkada bupati dan diangkat menjadi bupati. Ahok selama kampanye bupati memberikan nomor telepon genggam pribadinya kepada rakyat mana saja yang ingin bertanya padanya mengenai program kerjanya kelak. Ya, sebuah sikap asal lagi dari dirinya yang juga menyebabkan sms-sms ancaman juga ikut masuk meramaikan HP nya. Bahkan sampai memimpin pun dia masih berbuat yang sama, hingga merepotkan pimpinan polisi setempat yang berusaha menjaganya dari segala macam ancaman khususnya terkait latar belakangnya sebagai Cina dan agama minoritas. Ditambah dia suka meladeni ancaman-ancaman itu dengan justru menantang balik para pengancam untuk bertemu dengannya secara pribadi. Hal ini yang membuat pemimpin polisi disana menawarkannya izin memegang senjata, yang lagi dengan asal di tolaknya. Dia benar-benar menjalankan program kerjanya sehingga terpilih sebagai salah satu tokoh pengubah bangsa oleh majalah Tempo. Lalu dia pun melangkah lagi pada kompetisi calon gubernur di daerah yang sama. Hasilnya dia kalah, meski quickcount oleh lembaga non-pemerintah berkata lain. Si tokoh asal ini pun berang dan mengumpulkan lima puluh ribu tanda tangan untuk meminta lembaga yudikatif berwenang membatalkan hasil pilkada dikarenakan beberapa kecurangan yang ada. Pada saat itu, lembaga berwenang meminta waktu dua minggu hanya untuk pada akhirnya menyatakan pada media bahwa itu bukan ranah mereka. Saya dan beberapa teman diceritakan langsung oleh Ahok apa yang dilakukan oleh para aparat lembaga itu selama rentang dua minggu, yang akhirnya diabaikan oleh Ahok dan menerima kekalahannya. Cerita itu off the record katanya, maka saya memilih untuk tidak menjelaskan lebih detail di depan umum, sebab saya tidak se-asal Ahok. Dendam dengan carut marut KPU dan sistem pemilihan umum, Ahok memperjuangkan kesempatan para calon-calon baru minim modal seperti dirinya dengan menjadi anggota DPR. Dia masuk partai beringin karena katanya disana lah dia punya peluang, karena dia bukan keturunan Sukarno atau keluarga Cikeas. Hanya partai minim ideologi seperti itulah dia punya peluang, yang penting bisa masuk dulu di jajaran legeslatif pikirnya. Disana dia semakin ngasal saja dengan ahok.org nya, mulai dari tayangan video dimana dia mengkritik habis-habisan KPU sampai rekam jejak "studi banding" rekan segedungnya yang lebih banyak menghabiskan uang negara untuk wisata keluarga pun dia pajang di websitenya tersebut. Akunya, dia jadi dikucilkan dikalangan DPR karena sikap ngasalnya itu. Tidak puas dengan itu, dia mengaku akan maju sebagai DKI 1 dengan memilih jalur calon independen. Ya, dan sekali lagi dengan modal semangat dan membagikan lembar sumbangan bagi semua rakyat untuk menyumbang kampanyenya agar bersih dan tak berhutang selain pada rakyat, dia pun bahkan tak lolos verifikasi. Kini, Ahok pun dilirik sebagai pendamping Jokowi sebagai tokoh-tokoh Indonesia yang dinilai akan membawa perubahan. Dan sekali lagi Ahok pun dengan asal menerima pinangan itu meski tanpa dukungan sama sekali dari partainya sebelumnya. Ahok menunjukkan kengasalannya dan juga menunjukkan bahwa dia adalah seorang tokoh bukan hanya sekedar onderdil partai. Tentu bukan hal yang mudah menggandeng Ahok dengan latar belakang etnis dan agama yang sudah diprediksikan sebelumnya akan menjadi target serangan lawan-lawan politiknya, yang sudah bukan barang baru lagi baginya. Jakarta akan menjadi sasaran baru kengasalan Ahok jika dia menang dalam pemilu ini. Sikap asal, ya sebuah sikap asal : "asal bersih, asal transparan, asal profesional dan asal rakyat sejahtera, apapun dilakukannya". Saya pun tanpa berpikir dua kali akan dengan asal memilihnya, asal ibukota negara dapat ditata dengan lebih baik, kenapa tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H