Mohon tunggu...
Arion Batara Purba Siboro
Arion Batara Purba Siboro Mohon Tunggu... -

Seorang muda warga negara Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tersenyumlah Ibu Pertiwiku Sayang, Meski Hanya Sejenak

14 Agustus 2011   22:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:47 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Si cantik ibu pertiwi tampak sangat bahagia, tersenyum kasmaran sebagaimana seorang gadis muda yang jatuh cinta pada seorang pemuda yang gagah, bersuara indah dan memainkan gitar didepan rumahnya. Bagaimana tidak, karena ketika pertengahan agustus tiba, ribuan nada dan tulisan tampak begitu menyanjungnya. Ada yang menunjukkan kemolekannya, dan banyak yang meluapkan rasa cintanya pada si ibu muda yang indah nan rupawan ini. Meski sudah 66 tahun, ibu ini masih tergolong muda, jika dibandingkan ibu-ibu pertiwi lain di belahan dunia yang jauh dari sini, dari nusantara.

Ah, janganlah kau tanya indahnya sanjungan puisi para musisi di televisi, ketika pertengahan agustus tiba. Di atas panggung yang megah ribuan nada indah akan dilantunkan dihiasi hiasan merah putih cantik sebagaimana warna kesukaan si ibu pertiwi. Ah, jangan pula kau tanya ramainya suasana di bulan ini, dari anak-anak kecil hingga veteran-veteran tua pun bergembira. Ada yang tertawa berlumuran oli sembari memanjat pohon pinang, dan ada pula anak-anak kecil yang lucu berlarian sembari sendok dan kelerang diapit oleh bibirnya. Ah, sungguh meriah dan indahnya saat-saat ini, menjadi kenangan indah bagi siapa saja, bagi semua anak ibu pertiwi.

Ketika pertengahan agustus pun perlahan berlalu, aku tak tega memandang wajah ibu pertiwiku ini. Tawa dan senyum indah kasmaran itu pun perlahan berlalu, lenyap, digantikan raut murung sedih dan terkadang marah. Lantas seperti tidak peduli, anak-anaknya hanya pergi lalu saja, meninggalkannya di depan jendela dengan perasaannya campur aduk, kalut dan penuh rasa kecewa. Lantas mengapa kau menangis ibuku tersayang? Tanyaku sesaat kala kulihat dia di jendela televisi di pagi hari, sembari sepotong roti ini kulahap untuk mengisi perut yang sejengkal ini.

Kudengar dengan teliti setiap curahan hatinya, tentang kecemburuannya, tentang kesedihannya dan tentang kemarahannya. Dia menangisi anak-anaknya yang menipunya dan membuatnya terbakar cemburu, ketika mengingat pertengahan agustus, banyak mereka menyanjungnya dan memujinya bahkan ribuan kata cinta dan pengorbanan diluapkan. Tapi apa daya, mereka yang bernyanyi dan berpuisi itu lebih memilih pada hasil karya ibu lain, bangga akan produk luar negeri seakan mengacuhkan halusnya batik dan kain ulos hasil tenunan sang ibu sendiri. Kain-kain indah yang dia tenun dengan air mata kepedihan melihat anak-anak pedalaman yang tak mengenyam pendidikan. Ibu mana pula yang tidak cemburu jika anaknya lebih menghargai orang lain daripada dirinya, tak bersyukurkah dia memiliki ibu seindah ini? Hingga  lebih memilih menikmati liburan diluar negeri daripada beningnya Danau Toba atau coraknya warna Kelimutu.

Belum lagi anak-anaknya yang berkelompok yang mengaku soleh beragama namun hanya menimbulkan perpecahan diantara sesama keluarganya, keluarga satu ibu, ibu pertiwi. Mereka memperagakan kekerasan, menimbulkan kebencian dan yang paling menyedihkan menodai persatuan dan kesatuan yang indah dalam keberagaman. Tahukah dia berapa nyawa yang melayang mengusir belanda dan jepang dari tanah ini? Lalu, tak dirasanyakah rasa sakit para jiwa-jiwa pejuang melihat kemerdekaan yang indah ini diisi dengan kebencian demi kebencian, kekerasan yang melukai kemanusiaan?

Janganlah kau terus menangis oh ibuku sayang, jangan kau tangisi semua kepedihan ini. Aku tahu sudah cukup hancur hatimu yang suci itu, melihat sandiwara anak-anakmu di televisi. Dalam berbagai kata manis mereka membagikan janji-janji kejayaan ketika pesta demokrasi tiba, tapi kini satu tanah air pun hanya menuai maraknya drama korupsi. Begitu maraknya dan menegangkannya drama-drama itu, membuat penasaran, memacu andrenalin dan menciptakan polemik seperti membaca novel atau menonton film laga. Tak ada yang berubah, betapa banyakpun janji yang para petinggi itu ucapkan, hanya menambah satu demi satu drama yang mulai terungkap dan disajikan meriah di televisi, tiap jam berita-berita itu menambah susahnya hidup para penghuni pinggiran jalan.

Ya sudahlah ibu, kini pertengahan agustus pun akan segera tiba lagi. Usapkanlah air matamu sejenak, dan mulailah dengar dan lihat kata-kata cinta dan kejayaan yang akan disajikan indah lagi ditelevisi. Lupakanlah sejenak semua kesusahan itu. Sejenak, ya meskipun sejenak, setidaknya tak sepanjang tahun air mata itu mengalir.

Arion Batara - Agustus 2011

Tulisan lainnya di :


http://arionbatara.webs.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun