Mohon tunggu...
Kelompok 1 Hubungan Industrial
Kelompok 1 Hubungan Industrial Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Menulis untuk menyumbang pada Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Partisipan Pemilu Kalangan Muda Perlu Memandang Sutan Sjahrir dalam Memperjuangkan Ibu Pertiwi

30 Juli 2023   19:50 Diperbarui: 30 Juli 2023   19:58 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Sutan Sjahrir si "Bung Kecil" (Elshinta.com)

Dalam beberapa hitungan bulan, Negeri Indonesia akan menggelar pemilihan pemimpin baru yang akan memegang kendali Indonesia. Berbagai partai politik telah berkoalisi dan menyuarakan dengan luas terkait nama-nama kandidat yang mereka usung untuk naik di kursi kepresidenan pada tahun 2024.


Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), diperkirakan jumlah partisipan di pemilihan umum (Pemilu) nantinya akan mencapai 187 juta orang, di antara jumlah tersebut kelompok usia muda yang terdiri dari Generasi Millenial dan Generasi Z menjadi jumlah paling besar untuk menyalurkan suaranya dalam pemilu esok. Dalam kata lain, peran dua generasi tersebut begitu menjadi peran penting untuk menentukan siapa pasangan yang layak untuk membuka pintu dan masuk pada tempat kendali Negeri Indonesia demi membawa suatu perubahan dan kemajuan yang lebih baik lagi dari yang telah dilalui.

Kembali pada tahun-tahun dimana Indonesia resmi meraih kedaulatan tertinggi yang bernama "Merdeka", pada masa itu Sutan Sjahrir yang dikenal dengan julukan "Bung Kecil" menjadi tonggak penting Bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan, meski terkenal dengan julukan "Bung Kecil" Sjahrir memiliki kecintaan besar dan luas kepada Republik Indonesia. Jika bertanya Siapa Pahlawan paling berjasa untuk kemerdekaan selain Soekarno dan Hatta, tentu Sutan Sjahrir menjadi salah satu yang berada di garis depan dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Laki-laki yang lahir di kota Padang Panjang, Sumatera Barat itu memulai pendidikan Dasar dan Menengah Pertama di Sekolah Dasar Padang Panjang yang kala itu masih disebut dengan Europeesche Lagere School, dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs. Setelah mengenyam pendidikan di Padang Panjang, Sjahrir akhirnya pergi ke Bandung untuk memulai pendidikan menengah atas yang pada saat itu dijuluki dengan Algemeene Middelbare School. Di sekolah dia terkenal sebagai pria cerdas dengan julukan dari teman-temannya sebagai bintang kelas. Selain terkenal dengan kecerdasannya, Sjahrir sendiri memiliki jiwa sosial. Ketika menginjak usia 18 tahun, Sjahrir mendirikan sekolah untuk beberapa kaum yang tidak pernah bisa merasakan bangku pendidikan, sekolah tersebut diberi nama "Universitas Rakyat Cahaya" yang dikenal dahulu dengan sebutan "Tjahja Volksuniversiteit". Sjahrir bersama teman-temannya memberikan pelatihan secara ikhlas kepada anak-anak kurang mampu di Bandung untuk diajari membaca, menulis, serta menghitung. Sjahrir bersama teman-temannya tidak mengharapkan imbalan.

Sutan Sjahrir sendiri menyukai debat dan diskusi politik. Ia kembali mendirikan klub diskusi politik untuk para kalangan muda di Bandung, dengan kepandaiannya pada bidang debat dan diskusi politik membuat Sjahrir dikenal sebagai "The Smilling Diplomat", julukan tersebut diperolehnya karena ia pandai melakukan diplomasi dengan berbagai negara. Dibalik kepiawaiannya berdiplomasi, Bung Kecil ternyata memiliki kegemaran dalam berdebat politik. Ketika di Bandung ia mendirikan sebuah klub debat yang bernama Patriae Sciantique. Dari situ ia bertemu dengan berbagai aktivis yang juga mengikuti klub debat, salah satunya berasal dari klub tetangga yang bernama Algemenee Studie Club, klub tersebut dipimpin oleh mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang semasa itu disebut sebagai Bandung Technische Hogeschool, klub debat politik tetangga tersebut dipimpin oleh Ir. Soekarno. Dari situlah Sjahrir bertemu dengan Sang Penyambung Lidah Rakyat. Mereka berdiskusi dan berbincang mengenai keadaan negara Indonesia kala itu, hingga akhirnya lahirlah istilah "Marhaenisme" pada tahun 1927 yang dijadikan sebagai Ideologi oleh Soekarno dalam menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Ideologi tersebut akhirnya digunakan sebagai pondasi untuk membentuk PNI (Partai Negara Indonesia). 

Disitu Sjahrir yang masih berusia 18 tahun diberi amanah dan kepercayaan untuk mengurus organisasi pemuda PNI yang dikenal dengan Jong Indonesien dan seiring berjalannya waktu berubah menjadi Pemuda Indonesia. Kepercayaan yang diberikan kepada Sjahrir akhirnya digunakan untuk membuat momen sakral bersama dengan seluruh Pemuda PNI, di tahun 1928 tepatnya bulan Oktober, lahirlah Sumpah Pemuda di tanggal 28 sebagai wujud semangat perjuangan yang diperbarui. Hal tersebut adalah hasil dari Kongres Pemuda II yang terbentuk dari campur tangan seorang Sutan Sjahrir dengan yang lainnya. Di usianya yang belum menapaki 19 tahun, Sjahrir sendiri telah memberikan dedikasi dan semangatnya demi merebut Ibu Pertiwi untuk kembali pada pangkuannya.

Mendarat di Negeri Kincir Angin 
Tahun berikutnya Sjahrir lulus dan melanjutkan pendidikannya di Eropa. Ia mendarat dan mulai menimba ilmu di Negeri Kincir Angin. Disana ia tergabung dengan organisasi Perhimpunan Indonesia untuk turut menyumbangkan gagasan-gagasan yang membuat Indonesia dapat mengambil Kembali kemerdekaannya. Peran Sutan Sjahrir dalam perjuangan kemerdekaan semakin meningkat ketika dia terpilih sebagai ketua Perhimpunan Indonesia pada tahun 1931. Di bawah kepemimpinannya, organisasi tersebut semakin aktif dalam menyuarakan tuntutan kemerdekaan Indonesia kepada penguasa kolonial Belanda. Namun, kegiatan politiknya membuatnya menjadi sorotan pemerintah kolonial pada masa itu. Di tahun 1934, Sutan Sjahrir ditangkap oleh pihak berwenang Belanda dan diasingkan ke wilayah Boven Digoel, Papua, karena dianggap menjadi ancaman bagi kestabilan kolonial di Indonesia.

Meskipun diasingkan, semangat perjuangan Sutan Sjahrir tidak luntur. Dia tetap berusaha untuk menyebarkan semangat perjuangan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Selama diasingkan, dia juga terus belajar dan menulis tentang isu-isu politik dan sosial, sehingga pengetahuannya semakin berkembang. Setelah melewati masa diasingkan selama beberapa tahun, situasi politik di dunia mulai berubah akibat pecahnya Perang Dunia II. Pada saat yang sama, perjuangan kemerdekaan Indonesia semakin memanas, dan semangat untuk mencapai kemerdekaan semakin kuat.

Pada tahun 1942, Jepang berhasil menguasai Indonesia dan Belanda. Di bawah pendudukan Jepang, Sutan Sjahrir dilepaskan dari tahanan. Dia kemudian mendirikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 April 1945. Badan ini merupakan lembaga yang bertujuan untuk merumuskan dasar negara Indonesia yang akan merdeka.

Bung Kecil kemudian menjadi salah satu anggota Panitia Sembilan yang ditugaskan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945, teks proklamasi yang ditulis oleh Soekarno dan Mohammad Hatta dibacakan, dan Indonesia resmi menyatakan kemerdekaannya. Peran Sjahrir tidak berhenti di situ saja. Setelah kemerdekaan, dia menjabat sebagai Perdana Menteri pertama Indonesia dari 1945 hingga 1947. Selama masa jabatannya, Sutan Sjahrir berusaha membangun fondasi negara yang baru merdeka dan menangani berbagai tantangan politik dan ekonomi.

Melihat generasi muda yang ada di Negeri Indonesia saat ini tentunya akan menjadi calon partisipan pemilu dalam beberapa waktu kedepan, nampaknya apa yang telah dialami Sutan Sjahrir hendaknya dapat menjadi acuan untuk turut memilih pemimpin Negara yang mampu menambahkan perubahan dan tujuan agar Negara Indonesia dapat menjadi lebih baik lagi Sjahrir sendiri sudah berjuang bersama para pahlawan lain untuk merebut hak Negara Indonesia dan kita memiiliki kewajiban untuk menyuarakan yang dapat membawa perubahan yang lebih baik dari tahun ke tahun. Golongan Putih atau golput adalah istilah yang biasa dilakukan para pemilih ketika hendak mencoblos kandidat pemimpin, hal tersebut pada umumnya seringkali dilakukan oleh generasi muda yang terbagi menjadi dua bagian yaitu Generasi Z dan Generasi Millenial. Pada tahun 2019, Lembaga survei Alvara Research Center memberikan keterangan bahwa jumlah undecided voters atau partisipan pada pesta pemilu sebelumnya menyentuh angka 11,4 persen dari keseluruhan partisipan pemilu pada masa itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun