Mohon tunggu...
Ario Aldi L
Ario Aldi L Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Menulis ketika senggang, semakin banyak belajar semakin tidak tau apa-apa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masyarakat Harus Tahu, Madura Tidak Hanya Berisikan Carok

16 Juli 2020   23:01 Diperbarui: 17 Juli 2020   05:59 1367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Siapa yang tidak mengenal istilah tersebut? hampir dari kalangan masyarakat saat mendengar nama Madura hal yang terbesit pertama kali adalah watak yang keras dan salah satu budayanya yaitu carok. Tapi saat menjalani keseharian di Madura, tepatnya di kabupaten Bangkalan. Atmosfer tersebut saya rasa hanya menjadi angin lalu. Budaya carok sampai saat ini eksistensinya masih ada. Meskipun eksekusinya sangat tidak diharapkan.

Sebelumnya : Dehidrasi Sosial

Budaya carok ini tidak dapat disepelehkan dan memiliki sejarah yang cukup panjang. Salah satu slogan yang terkenal adalah Lebih baik putih tulang daripada putih mata. Artinya lebih baik mati daripada menanggung malu.

Budaya ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda pada abad ke-18 M sebagai simbol ksatria dalam memperjuangkan harga diri atau kehormatan. Orang-orang beranggapan bahwa budaya tersebut termasuk budaya yang sudah tidak relevan lagi dengan peradaban modern saat ini. Tidak salah dan tidak benar. Asumsi tersebut masuk dalam kategori moderat. 

Masyarakat suku Madura pada waktu itu yang dibawa oleh Pak Sakera, dimana beliau tidak pernah meninggalkan celurit atau kerisnya saat dimanapun berada. Bagi Pak Sakera hal tersebut adalah sebagai simbol perlawanan dari rakyat jelata. 

Tidak sedikit masyarakat masih beranggapan bahwa budaya tersebut sampai saat ini menjadi kengerian tersendiri saat berwisata ke Pulau Madura.

Padahal saat pertama kali saya tiba di Pulau Madura hampir setahun yang lalu, atmosfer yang saya rasakan adalah budaya spirituilnya yang begitu kentara. Meskipun kota asal saya Gresik juga menyandang gelar yang sama yaitu Kota Santri sekaligus Kota Industri. 

Baca : Pinangan Adipati dari Jogja

Hak, Harta, dan Wanita. Slogan tersebut yang menjadi entitas mengapa masyarakat Madura memiliki sikap yang konsisten dan watak yang lembut. Masyarakat tidak bisa menyangkal bahwa budaya yang ada di Pulau Madura berpengaruh pada ekosistem yang didatangi. 

Ulet dan pekerja keras. Setiap kota memiliki ciri khas, dalam entitas dunia modern saat ini hal tersebut dibuat menjadi tidak berlaku dan pluralitas yang batasnya tidak jelas seperti belati bermata dua.


Foto : tirto.id
Foto : tirto.id

Budaya di Pulau Madura akan terjaga dan justru budaya dari masyarakat suku Madura akan merebak di seluruh penjuruh negeri. Tidak sedikit perantau dari berasal dari Madura. Bahkan influencer sekaligus komedian yaitu Tretan Muslim yang menjadi pengisi konten dalam komunitas Majelis Lucu Indonesia (MLI) berasal dari Pulau Madura.

Tidak sedikit dari konten yang dihasilkan oleh komunitas tersebut, yang ketika pemandu acara atau pengisi kontennya adalah Tretan Muslim. Sedikit banyaknya berperan dalam memotong stigma yang beredar di masyarakat tentang Madura. 

Sebuah ideologi yang semu dan paranoid yang tidak berbatas tersebut perlahan akan hilang dalam masyarakat, jika masyarakat mau berpikir secara jernih dan baik.

Sekali-kali ngaji budaya itu perlu, momen yang baik dan ruang yang tepat. Tidak hanya industrialisasi dan angka-angka saja. Salam!

Artikel Lainnya : Pendidikan Daring dan Dampaknya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun