Menjadi Maha-Siswa hari ini sangatlah susah, karena gesekan-gesekan modernisasi tak terasa membuat aktifitas sehari-hari menjadi serba untung-rugi. Untungnya apa buat saya, ruginya apa buat saya.
Model lulusan kuliah menjadi individualistik secara tidak sadar karena trennya memang demikian, lulus - cari kerja - membangun rumah tangga. Berbeda dengan kegiatan para mahasiswa pendaluhunya (baca: aktivis 98). Agaknya untuk membawa obrolan politik dan keresahan masyarakat di meja kopi sudha dianggap aneh, gak asik, dan seambrek rentetan omongan sejenis.
Kiat merangsang pembentukan pola pikir kritis dan adaptif membuat diri merasa bersalah. Mbok ya belajar sama-sama, bukan berarti saya ngomong seperti ini esensi saya sudah pakar. Melainkan semacam jual-beli ilmu tanpa mata uang.
Sebagai masyarakat hari ini, saya sendiri sangat bangga dan menghargai usaha para aktivis 98. Mereka rela mengorbankan pemikiran, tenaga juga rela tubuhnya dijadikan sasaran timpuk para aparat. Belum lagi membahas para mahasiswa yang hilang tanpa ada kabar yang jelas sampai hari ini. Agaknya ada sedikit rasa simpati dalam diri itu dijaga, entah suatu saat akan menjadi empati. Mari berdiri bersama untuk kesejahteraan rakyat, saat dirasa perlu menggembleng para petugas yang membawa uang rakyat.
Kata-kata hari ini, "Sudah jangan bahas itu mulu, kuliah sana yang pintar. Lulus dapat kerja yang enak. Bikin anak yang banyak juga!"
Okai terimakasih pak masukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H