Pada awal tahun 2019 ini bertepatan dengan tahun pesta demokrasi yaitu pemilu lima tahunan. Sebagai pemuda yang baru lahir kemarin sore, peristiwa ini adalah pesta demokrasi pertama bagiku. Karena pada tahun 2014 usiaku baru menginjak diakhir tahun bangku sekolah menengah pertama, yang tergolong masih berada pada usia bermain.Â
Berbeda pada tahun ini seperti yang sudah saya sebutkan diatas karena untuk melakukan riset secara mandiri menjadi lebih mudah dengan adanya akses internet dan murahnya harga gawai dibandingkan pada pesta demokrasi sebelumnya (tahun 2009) dan aku berangkat menulis ini karena banyak masyarakat generasi Z dan generasi Y atau yang biasa disebut dengan generasi millenial yang sangat mudah dijerumuskan pada framing yang menyesatkan dan menganggap bahwa mengapa kondisi perpolitikan Indonesia tahun sangat tidak enak dipandang.
Baik sekilas melihat masa lalu, pada era Niccolo Machiavelli  seorang diplomat juga politikus Italia telah menyebut dalam tulisannya sebenarnya politik memang identik dengan pemanfaatan segala hal untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan, dan untuk istilah agama digunakan sebagai alat pada dunia politik untuk mendapatkan suara khalayak telah disebutkan oleh Niccolo Machiavelli dalam buku The Prince  merupakan hal yang sangat efektif, dan secara teoritis maupun empiris memang keadaannya sangat sesuai. Elite memang memanfaatkan apapun untuk mendapatkan kepentingan mengingat ini adalah perpolitikan.
Hal ini menjadi wajar mengingat minat baca masyarakat, yang semakin hari semakin tidak antusias. Media jurnalis sangatlah dibutuhkan untuk memaparkan informasi dengan pola-pola kompleks menjadi bacaan yang enak dipandang juga ringan untuk dibaca.
Namun apa yang bisa kita perbuat? Mungkin salah satunya adalah dengan memaknai sejarah sebagai peristiwa yang telah terjadi yang didalamnya ada hubungan sebab-akibat dan menjadikannya sebagai senjata untuk menghadapi pola-pola yang akan datang.
Mudahnya akses informasi di masa kini, sangat kurang dimanfaatkan untuk mencapai hal-hal besar yang pada awal tahun 90-an atau sebelumnya hanya dianggap sebagai kekonyolan belaka.
Baik kembali pada perpolitikan, pada tahun 2019 ini menjadi "terlihat" sangat kacau juga dikarenakan mudahnya membagikan hal baru, yang kebenaran belum dapat ditentukan. Hal ini terjadi melalui platform WhatsApp, Facebook juga Instagram, juga perlu dicermati adalah dalam sebuah kompetisi politik pasti ada sebuah tim pemenangan untuk informasi hoax yang masuk dalan kategori kampanye hitam juga kampanye negatif adalah menjadi tugas salah satu tugas Buzzer--sebutan untuk orang yang dibayar untuk mengumumkan/mempromosikan sesuatu-- yang kini juga digunakan untuk alat kampaye.Â
Dengan melihat tanggapan pada artikel atau konten media-media jurnalis ada 4 jenis yaitu netral, berpihak pada salah satu tetapi mengetahui fakta, korban buzzer dan buzzer. Ciri khas tulisan buzzer adalah makian yang tidak manusiawi, dan korbannya juga menjadi terpancing melakukan hal serupa.
Untuk melawan kampaye negatif dan kampanye hitam bisa menghunakan metode kritis dan skeptis saat menerima informasi sebelum mencernanya.
Output-nya adalah perilaku dan sikap yang akan terjadi di keseharian. Berpotensi merubah stigma bahwa negara Indonesia adalah negara bobrok yang tidak tertolong dan bukan menjadi topik pembicaraan tidak berarti yang hanya berisi makian saja. Tetapi ada pemikiran menuju pada bagaimana kita merubah Indonesia?
Mari berpikir, Salam!
Juga tayang di websiteku dengan judul Gerr
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H