Pelaut tua itu menyantap sego pecel dan ditemani es teh manis di sampingnya. Sebuah warteg cukup tua dengan meja dan bangku yang telah kusam, berada di perempatan kampung sekitar 100 meter dari pesisir.Â
Sudah bertahun-tahun pelaut itu, selalu saja makan sebelum pergi melaut di jam yang sama. Mungkin suami sang pemilik warteg adalah teman akrabnya, tapi ini cuma berandai-andai loh. Nyatanya juga nggak paham betul.
Pemilik warteg dengan kepiawaiannya sedang menggoreng tempe dan tahu, sekali-kali memperhatikan pelaut itu dengan penuh tanda tanya. Kadang membayar lebih, tapi lebih sering kurang tagihannya. Menantu pelaut itu membayar makanannya.
Ia merogoh kantongnya, mengambil beberapa lembar uang yang dirasa cukup untuk membayar sego pecel dan es teh manis itu.Â
Pelaut itu kembali  ke rumah mengambil beberapa peralatannya.Â
"Le, ambilkan jaring bapak di belakang dekat amben. "
"Nggeh, Pak"
Dipeluk sejenak bapak oleh sang istri. Selalu seperti itu saat bapak hendak pergi melaut.
"Niki pak"
"Le, kamu kan bisa baca sama nulis apik. Jangan niru bapak, bapak boro-boro bisa baca lihat nominal angka di sudut uang saja sering keliru." Ucap bapak sembari mengelus rambut si kecil.
Jaring dipikul di punggungnya dan lampu oplek digenggam tangan kanannya. Dia sang istri dan si kecil menyelimuti tubuhnya , sebuah kehangatan yang cukup sempurna. Langit cukup cerah, tidak ada awan hitam mengitari pesisir. Ia melaut bersama seorang pemuda . Mereka mulai mendorong perahu dari tepi.Â
Didayung perlahan dengan bantuan angin laut, Sementara Pak Tua memasang lampu oplek di tiang. Â Cukup setengah jam sudah sampai di tengah laut, karena awan cukup cerah sehingga bulan terlihat begitu besar. Kalau melempar jaring Pak Tua lebih ahli, karena sudah berpuluh-puluh tahun melaut. Jaring sudah di tebar.
 "Tinggal menunggu waktu yang tepat," kata Pak Tua.
Pemuda mengeluarkan rokok sembari menawarkan pada Pak Tua. Mereka berbincang ditemani rokok dan kopi yang dibawa pemuda sebelum melaut itu. Mereka mengobrol tak mengenal topik, penting atau tidaknya bagi kehidupan mereka.
Kopi hampir habis mereka mengangkat jaring, perhitungan Pak Tua tepat, terlihat cukup banyak ikan yang tertangkap. Lumayan banyak untuk dibagi hasil penjualannya esok pagi, setidaknya bisa digunakan untuk kebutuhan sekeluarga. Mereka segera menepi jikalau telat angin laut akan datang di hari berikutnya.
Setelah sampai di pesisir, mereka mampir di warung membagikan beberapa biji ikan hasil tangkapannya.Â
Selepas itu mereka pulang, sang istri yang menjual ikan di pasar. Untung tulang punggung Pak Tua selalu dibalut doa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H