Pelaut tua itu menyantap sego pecel dan ditemani es teh manis di sampingnya. Sebuah warteg cukup tua dengan meja dan bangku yang telah kusam, berada di perempatan kampung sekitar 100 meter dari pesisir.Â
Sudah bertahun-tahun pelaut itu, selalu saja makan sebelum pergi melaut di jam yang sama. Mungkin suami sang pemilik warteg adalah teman akrabnya, tapi ini cuma berandai-andai loh. Nyatanya juga nggak paham betul.
Pemilik warteg dengan kepiawaiannya sedang menggoreng tempe dan tahu, sekali-kali memperhatikan pelaut itu dengan penuh tanda tanya. Kadang membayar lebih, tapi lebih sering kurang tagihannya. Menantu pelaut itu membayar makanannya.
Ia merogoh kantongnya, mengambil beberapa lembar uang yang dirasa cukup untuk membayar sego pecel dan es teh manis itu.Â
Pelaut itu kembali  ke rumah mengambil beberapa peralatannya.Â
"Le, ambilkan jaring bapak di belakang dekat amben. "
"Nggeh, Pak"
Dipeluk sejenak bapak oleh sang istri. Selalu seperti itu saat bapak hendak pergi melaut.
"Niki pak"
"Le, kamu kan bisa baca sama nulis apik. Jangan niru bapak, bapak boro-boro bisa baca lihat nominal angka di sudut uang saja sering keliru." Ucap bapak sembari mengelus rambut si kecil.
Jaring dipikul di punggungnya dan lampu oplek digenggam tangan kanannya. Dia sang istri dan si kecil menyelimuti tubuhnya , sebuah kehangatan yang cukup sempurna. Langit cukup cerah, tidak ada awan hitam mengitari pesisir. Ia melaut bersama seorang pemuda . Mereka mulai mendorong perahu dari tepi.Â