Hikikomori merupakan sebuah fenomena sosial yang marak terjadi di Jepang. Hikikomori sebenarnya sudah banyak diteliti sekitar tahun 1970, namun fenomena ini marak terjadi dan marak diteliti pada sekitar tahun 1990-an.Â
Pada dasarnya hikikomori merupakan istilah yang digunakan masyarakat Jepang untuk orang-orang yang suka mengisolasikan, membatasi, dan mengurung diri mereka dirumah dalam periode waktu yang lama, dan fenomena tersebut juga merupakan penghindaran ekstrim dari segala hal yang berkaitan dengan kontak sosial dan interaksi sosial.
Kata ‘hikikomori’ sendiri sudah umum dipakai dan digunakan dalam bahasa Jepang sebagai kata verba. Hikikomori dalam bahasa Jepang berasal dari kata ‘hikikomoru’, yang dapat dipecah lagi menjadi dua kata yaitu ‘hiku’ yang berarti ‘menarik’, dan ‘komoru’ yang berarti ‘untuk mengasingkan diri’.Â
Di dalam budaya Jepang, kolektivisme merupakan salah satu hal yang tak dapat dihindarkan, dan hal ini membuat mudah sekumpulan masyarakat untuk membuat suatu formasi kelompok, sehingga ketika muncul suatu situasi yang membuat salah satu individu keluar dari kelompok tersebut, hal tersebut dapat dikatakan sebagai ‘hikikomatta’, atau orang yang telah mengasingkan diri.Â
Dalam konteks tersebut, maka orang yang telah mengasingkan diri dari suatu kelompok dalam sebuah sekolah, tempat kerja, maupun tempat lainnya dapat dikatakan sebagai hikikomori.
Relevansi fenomena hikikomori dengan fenomena anti sosial adalah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anti sosial merupakan sebuah sikap dimana suatu individu tidak suka bergaul dan cenderung menutup diri dari masyarakat.Â
Hal tersebut sangat berkesinambungan dengan fenomena hikikomori, karena itu hikikomori dapat dikatakan sebagai fenomena anti sosial, namun perbedaan mencolok dari fenomena hikikomori dan fenomena anti sosial adalah, seseorang yang dianggap sebagai hikikomori tidak memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang tidak terpuji, seperti kekerasan, sedangkan seseorang yang dianggap sebagai anti sosial mempunyai kecenderungan untuk melakukan hal-hal tidak terpuji, karena orang-orang dengan kepribadian anti sosial tidak mempunyai kemampuan untuk membedakan hal buruk dan hal baik.
Sebuah survei dari suatu komunitas sosial di Jepang mengatakan, bahwa dari penduduk Jepang, fenomena hikikomori mencakup 1,2% populasi Jepang, dan pada tahun 2016 suatu kabinet Jepang membuat laporan bahwa individu dengan hikikomori mencakup 541.000 orang dengan rata-rata usia sekiutar 15-49 tahun.Â
Dengan data tersebut dapat dikatakan bahwa hikikomori merupakan salah satu fenomena yang membawa pengaruh besar terhadap kehidupan sosial di Jepang. Hikikomori ini sendiri juga dapat dipengaruhi oleh hubungan orang tua dengan anak, karena di dalam kultur jepang, hubungan anatara orang tua dengan anak disinyalir kurang ‘oedipal’ dibanding dengan masyarakat di negara lain.
Fenomena hikikomori tersebut sebenarnya masih dalam tahap ambigu jika ingin dikatakan sebagai sindrom atau penyakit sosial, karena fenomena ini tidak ada dalam Manual Gangguan Kesehatan Jiwa dari American Psychological Association (APA). Seperti pada paragraf sebelumnya, dikatakan bahwa fenomena ini hanya dapat dirujuk sebagai fenomena anti sosial biasa. Individu yang dapat dikatakan sebagai hikikomori sebenarnya dapat dikurangi gejalanya sama seperti fenomena anti sosial lainnya, pengurangan gejala tersebut dapat dilakukan dengan terapi dan penanganan khusus lainnya.
Dengan ini terjawablah sudah bahwa fenomena hikikomori lebih dekat dengan fenomena anti sosial, dan tidak dapat dikatakan sebagai sindrom sosial ataun penyakit sosial, karena gejala-gejalanya yang dapat dikatakan tidak terlalu berat dan masih mempunyai harapan untuk disembuhkan dengan penanganan-penanganan khusus. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H