Kejadian ini, aku tak ingat lagi tanggal dan waktunya. Yang pasti terjadi sebelum Pandemi Covid-19 melanda. Ya, benar saja. Karena saat itu aku sama sekali tak tahu apa itu Covid. Namun aku masih bisa pastikan tempatnya, yaitu di tepian Kali Grogol. Grogol.Â
Kalau mendengar nama ini orang pasti teringat sebuah kecamatan di wilayah Kotamadya Jakarta Barat dengan kampus Universitas Trisakti yang megah dan Rumah Sakit Jiwa yang terkenal dengan sebuah terminal dalam kota berdiri di dalamnya. Nyatanya Grogol juga menjadi nama sebuah kelurahan di wilayah Kota Depok.Â
Mengapa? Karena baik Kelurahan Grogol di Depok maupun Kecamatan Grogol di Jakarta Barat sama-sama dialiri Kali Grogol. Namun saat itu aku tidak berada di keduanya. Melainkan di wilayah Jakarta Selatan, tepatnya di sebuah kelurahan bernama Pondok Labu, yang tentu juga dialiri Kali Grogol. Kali yang (konon) dibuat atas perintah Raja Purnawarman sebagai saluran irigasi.
Mengapa aku di sana? Karena daerah itu merupakan salah satu daerah di wilayah Jakarta Raya ini yang masih terjaga keasriannya. Bukan hanya itu. Di sana seakan kembali ke zaman kolonial atau bahkan lebih lama lagi. Ketika sebagian besar masyarakat masih bertani dan berternak.Â
Ketika sebagian besar masyarakat belum terpapar yang namanya polusi (tentu ada saja sebagian masyarakat yang membakar sampah atau merokok; tetapi kendaraan bermotor sangat jarang).Â
Bahkan praktik 'Sabung Ayam' pun masih bisa ditemui. Pokoknya berada di sana rasanya seperti seakan-akan bukan berada di wilayah Kota Jakarta! Aku biasanya hanya berjalan-jalan sendiri saja sambil menikmati secuil keasrian Kota Jakarta yang entah ada sampai kapan.Â
Biasanya aku hanya duduk di tepian kali sambil menyeduh kopi panas sambil memandang ke arah aliran kali dan membayangkan kalau suatu saat bisa menyusurinya dengan perahu. Oh ya, kali itu kalau musim kemarau di tengahnya paling hanya sedengkul orang dewasa (yang tingginya kisaran 160-180 cm).Â
Tapi kalau hujan besar jangankan di tengah, di atas(tepian)nya saja air bisa meluap sampai dada orang dewasa (sekali lagi: yang tingginya kisaran 160-180 cm)! Betul, kali ini memang langganan banjir besar.
Bicara Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Jakarta, memang saranku sebaiknya dibuat di sepanjang aliran kali saja. Mengapa? Yang pertama karena Jakarta ini merupakan daerah delta yang merupakan muara dari beberapa kali/sungai di wilayah Pulau Jawa bagian Barat Laut.Â
Orang umumnya mengenal Kali Ciliwung (dalam bahasa Indonesia artinya air bergejolak) yang membelah wilayah Jakarta menjadi dua sisi: barat dan timur.Â
Namun ada juga kali-kali lainnya misalnya Pesanggrahan, Krukut, Angke, Cipinang, termasuk Kali Grogol ini. Yang namanya kali tentu saja menjadi biang banjir kalau hujan.Â
Apalagi kali-kali yang melintasi Jakarta hampir semuanya melintasi bahkan berhulu di wilayah Bogor yang memang biangnya hujan. Di samping itu laju pertumbuhan pemukiman di Jakarta sangat pesat sekali.Â
Masih beruntung di tempatku sekarang ada tempat berpijak/melangkah. Di tempat lain antara tepi sungai dengan tembok rumah bisa hanya berjarak sejengkal saja! Inilah yang mengurangi daerah resapan di wilayah Kota Jakarta secara drastis sehingga jadi langganan banjir kala musim hujan. Harapannya keberadaan RTH akan mengembalikan daerah-daerah resapan yang hilang.Â
Yang kedua karena sungai merupakan hal yang iconic di Jakarta sehingga perlu dilestarikan. Kalau membaca sejarah Jakarta, akan didapat informasi bahwa kali-kali yang mengaliri wilayah Jakarta bukan sekedar biang banjir saja tetapi berperan vital dalam menghidupi masyarakatnya, baik sebagai sarana transportasi, rekreasi, bahkan tempat mencuci baju.Â
Dulu saat baru-barunya pengoperasian bus Transjakarta (Busway) sempat ada wacana mengoperasikan Waterway. Meskipun nyatanya tak terealisasi hingga kini namun patut diapresiasi sebagai upaya bagus dalam menghidupkan kembali budaya sungai di Jakarta. Tapi setidaknya bisa dibangun RTH-RTH di tepi kali (bantaran kali) sebagai rintisan.Â
Yang ketiga dan terpenting, kali dapat (kembali) menjadi aset perekonomian Kota Jakarta sebagaimana dahulu. Soal sampah/polusi, logikanya begini saja: orang mudah membuang sampah ke tanah kosong tapi akan berpikir ribuan kali membuang sampah ke rumah orang lain. Artinya saat ini mungkin tak banyak warga Jakarta yang merasa memiliki kali. Tapi dengan program revitalisasi mereka bisa saja berubah pikiran. Maka pembangunan RTH-RTH juga menjadi upaya revitalisasi kali-kali di Jakarta.
Aku masih terduduk di tepian kali. Memandangi aliran kali yang perlahan namun pasti sambil menyeduh kopi panas, dan berpikir kapan semua yang kupikirkan tadi bisa terealisasi...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H