Mohon tunggu...
Ari Nuraya
Ari Nuraya Mohon Tunggu... -

Tinggal di Jakarta. Bekerja di Jakarta. Lahir di Jakarta tahun 1994...eh, 1974.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesempurnaan Terletak Pada Kesederhanaan

10 Maret 2010   17:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:30 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada satu cabang olahraga yang menjadi sangat populer di seluruh permukaan bumi ini. Sepakbola! Itu namanya. Kenapa dia jadi populer? Karena mudah dimainkannya. Cukup dengan menaruh satu objek di depan kaki anda dan... tendang ! Supaya objek tersebut mudah menggelinding maka dibuatlah objek yang berbentuk bulat-bundar namanya bola. Dimainkan sendirian sudah asyik. Dimainkan beramai-ramai, lebih asyik lagi. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana supaya yang tidak ikut main bisa turut menikmati permainan tersebut? Maka jawabannya adalah diperlukannya aturan main. Klop sudah. Satu permainan sederhana diberi sedikit "bumbu" berupa aturan dan... voila !!, jadilah dia permainan paling top sedunia. Semasa sekolah dasar dulu saya senang bermain sepakbola. Awalnya main di dalam rumah. Kemudian setelah orangtua merasa cukup bersabar dengan kegaduhan dan perasaan deg-degan takut kalau pajangan di rumah pada pecah, maka dianjurkanlah saya untuk bermain dengan teman-teman sekompleks di taman dekat rumah. Saya merasakan kegairahan baru dalam bermain bola dalam kelompok, tidak lagi sendirian. Nikmat rasanya ketika merasakan sensasi bermain dalam tim, dimana ada reaksi dari teman-teman atas aksi saya nendang bola... hahaha... Tidak sulit mencari 21 anak ingusan untuk bermain sepakbola. Yang sulit barangkali adalah memikirkan bagaimana caranya 22 orang anak ingusan ini (termasuk saya) bisa bermain sepakbola di taman ukuran 6 x 6 meter yang dipenuhi tanaman dan pohon yang tumbuh tak beraturan. Rasanya seperti menghadapi tim dengan 30 orang pemain bertahan. Kebiasaan bermain bola tersebut berlanjut hingga saya duduk di bangku SMP. Masih di kompleks yang sama, namun kali ini pemainnya sedikit berbeda. Maklum, ada beberapa teman yang mengikuti orangtuanya pindah rumah ke daerah lain. Pemain boleh berganti, tetapi main bola ya tetap sama. Peluh membasahi kaus sudah menjadi pemandangan tetap saat sore hari sepulang dari lapangan bola. Ada sedikit kemajuan di masa ini. Kami yang sok dewasa mulai berani coba-coba cari lapangan lain yang lebih luas walaupun itu berarti harus memasuki “wilayah” kampung tetangga. Alhasil, seringkali kami adu tanding dengan anak-anak kompleks lain yang berujung perkelahian ketika salahsatu pihak kalah. Bayangkan, dalam setiap pertandingan kan pasti ada yang kalah sehingga ya itu dia, hampir tiap kali usai bermain bola dilanjutkan dengan karate, taekwondo, tinju, dan diakhiri dengan lari sprint 200 meter terbirit-birit. Paket komplit namanya, all in one. Kesibukan kala beranjak dewasa membuat frekuensi bermain sepakbola menjadi berkurang. Energi muda yang meletup-letup sudah mulai punya saluran lain selain olahraga. Tugas-tugas akademik, kegiatan ekstra-kurikuler, dan perkenalan terhadap era baru yang disebut "pacaran" membuat saya semakin sulit menyediakan waktu untuk bermain bola. Tetapi gairah untuk tetap dapat menggiring bola dan menceploskannya ke gawang lawan masih tetap tinggi. Adakah jalan keluar atas dilema yang saya hadapi ini ? Jawabannya datang dari negeri Sakura. Ya, Jepang memang kadang punya solusi jitu atas masalah-masalah yang sering dihadapi oleh masyarakat dari negara berkembang seperti saya ini. PlayStation, itulah jawabannya. Kali ini saya memasuki babak baru di dalam bermain sepakbola. Tidak hanya tendang-oper-umpan saja yang bisa saya lakukan. Saya juga dapat mengatur strategi tim, pemilihan pemain, dan pemilihan tim sepakbola favorit. Hebatnya lagi, semua itu dilakukan tanpa mengeluarkan keringat setetes pun ! Paling banter jempol kita kapalan dan kaku dibuatnya. Satu-satunya keringat yang mengalir justru pada saat istirahat untuk makan rendang plus sambal hijau di warung padang dekat rumah. Dan layaknya produk-produk game seperti ini, bermain sepakbola di PS, sebutan popular untuk PlayStation, membuat saya kecanduan. Tidak kenal waktu dan tempat. Bahkan pernah satu waktu demi memuaskan “sakau” saya bermain bola di PS, saya dan teman rela untuk menyambangi rental PS (karena PS di rumah rusak akibat lebih sering on daripada off ) hanya untuk bermain satu babak saja ! (keterbatasan waktu disebabkan saat bermain menjelang beduk maghrib untuk berbuka puasa alias ngabuburit). Masa-masa itu telah lewat. Kini satu-satunya keringat yang muncul adalah buah dari kerja keras sehari penuh. Gairah atas permainan yang di Amerika biasa disebut Soccer  atau disebut Football  di Inggris ini tak terasa berubah menjadi gairah menonton siaran langsung pertandingan-pertandingan sepakbola dari mancanegara. Tenaga sudah tak punya lagi. Yang tersisa hanya sedikit waktu luang di tengah malam. Itupun kadang hanya mampu bertahan satu babak saja karena lantas tertidur pulas. Buat saya tim-tim dari Britania Raya mampu menyajikan permainan yang cantik selaras dengan yang saya bayangkan bagaimana sebuah permainan sepakbola seharusnya dimainkan. Mengapa sebuah permainan dapat menjadi seperti “dewa” yang diagung-agungkan di seluruh penjuru dunia ? Kuncinya terletak pada kesederhanaannya. Ketika all you have to do is just kick the ball dan ikuti aturannya supaya permainan itu menjadi cantik dan enak ditonton, jadilah dia sesuatu yang hampir sempurna. Lupakanlah permainan dengan teknik yang tinggi. Ingat, bahwa ini adalah permainan tim sehingga cukup dengan melakukan kerjasama yang baik maka milyaran orang dapat menikmati permainan ini. As simple as that… [caption id="attachment_90773" align="aligncenter" width="252" caption="Eric Cantona, salah seorang pemain sepakbola terbaik yang saya ketahui. Bermain selama lima tahun (1992 - 1997) di Old Trafford, Cantona berperan dalam membawa MU sebagai juara liga Inggris empat kali dan piala FA sebanyak dua kali."][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun