Belum lama ini kita mendengar adanya rencana untuk memberlakukan ketentuan baru dalam penerbitan SIM (Surat Izin Mengemudi), yaitu tentang Sertifikat Sekolah Mengemudi. Seingat saya, sekitar tahun 1990an, ketentuan ini sudah pernah ada, bukan hanya berlaku bagi pemohon SIM baru, melainkan juga untuk perpanjangan SIM. Saya ingat betul pada saat perpanjangan masa laku SIM A, saya ditanya apakah sudah ada sertifikat sekolah mengemudi. Ketika saya menjawab tidak punya, saya pikir saya harus ikut kursus mengemudi lagi untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Ternyata tidak. Solusinya sangat mudah, saya hanya diminta untuk 'menembak' sertifikat itu seharga Rp240.000 (dua ratus empat puluh ribu rupiah).
   Tarif normal resmi untuk perpanjangan SIM pada waktu itu masih dibawah Rp100.000 termasuk didalamnya harga formulir dan stofmap Rp52.500, periksa dokter Rp12.000, asuransi Rp10.000 dan lain-lain yang saya tidak ingat lagi rinciannya. Awalnya saya berprasangka baik, dengan membayar Rp240.000 itu maka saya akan mendapatkan semacam ijazah dari salah satu sekolah mengemudi yang sudah terakreditasi, yang akan dapat dipergunakan untuk perpanjangan SIM berikutnya, lima tahun lagi. Tapi ternyata tidak. Biaya tambahan itu hanya untuk 'menghapus' persyaratan sertifikat sekolah mengemudi dalam berkas permohonan perpanjangan SIM saya. Entah bagaimana perkembangan peraturan tentang SIM itu kemudian, untuk pembuatan baru ataupun perpanjangan SIM, sekali setiap lima tahun, saya tidak pernah lagi diminta untuk menunjukkan sertifikat sekolah mengemudi.
   Sebenarnya bukan hanya untuk urusan SIM saja, yang seperti sengaja dibuatkan syarat tambahan untuk mendongkrak 'tarif tembak'. Contoh yang lain pada pembayaran pajak kendaraan bermotor (PKB). Pada saat membayar PKB kita harus menunjukkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) asli pemilik kendaraan seperti tercantum pada STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) dan BPKB (Buku Pemilik Kendaraan bermotor). Kalau tidak ada KTP asli maka akan dikenakan biaya tambahan yang tidak tercatat di rincian tanda pembayaran pajak. Seharusnya, untuk urusan pembayaran pajak, tidak perlu dilihat siapa yang membayar, yang penting pajaknya terbayar lunas. Seperti pada pembayaran PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) misalnya, tidak pernah diminta KTP asli pemilik tanah atau bangunannya.
   Kembali kepada urusan pembuatan SIM, sudah menjadi rahasia umum, bahwa kalau kita mengikuti alur yang resmi, tanpa ada 'adegan tembak-tembakan', maka kelulusan akan dipersulit. Sehingga banyak orang memilih jalan pintas, 'membeli' SIM langsung tanpa harus mengikuti test kesehatan, test psikologi, ujian teori dan ujian praktik, yang hampir pasti tidak akan lulus, dan, bahkan, dapat memotong antrian yang panjang. Harga 'SIM Tembak' bervariasi tergantung kepada jenis SIM (A, BI, BII, C), di wilayah Polda mana, dan dengan siapa kita berhubungan. Sebagai contoh, belum lama ini saya mengurus SIM C untuk anak saya di Yogya habis Rp700.000. Tapi anak teman isteri saya hanya membayar Rp620.000 saja di kantor Samsat (Sistem Admisitrasi Manunggal Satu Atap) yang lain, bahkan ada yang Rp600.000, meskipun masih satu wilayah Polda yang sama, yang tentu saja melalui 'orang dalam' (calo) yang berbeda.
      Saya curiga, jangan-jangan munculnya syarat baru sertifikat sekolah mengemudi ini hanya akal-akalan saja supaya ada alasan untuk menaikkan 'tarif tembak' pembuatan baru dan perpanjangan SIM. Mari kita cermati Bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H