Mohon tunggu...
Dimas Wibisono
Dimas Wibisono Mohon Tunggu... Guru - Akademisi di salah satu universitas di Riyadh, Arab Saudi

Lahir, membesar dan sekolah di Yogyakarta. Sampai kini masih belajar sambil mengajar di lingkungan pendidikan tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kendala Pelaksanaan ETLE

4 Januari 2022   10:35 Diperbarui: 4 Januari 2022   10:40 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu seorang teman penulis mendapat 'surat cinta' dari Kepolisian. Isinya tentu saja pemberitahuan bahwa beliau telah melanggar salah satu aturan berlalu lintas, yaitu berkendara melebihi batas kecepatan maksimum di jalan yang dilalui. Untuk itu yang bersangkutan harus membayar sejumlah denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pelanggaran yang dapat dikenakan denda tidak hanya sebatas kecepatan maksimum, tapi bisa juga misalnya: mengemudi sambil menggunakan gadget (melakukan panggilan atau menerima telpon, membaca atau mengirim pesan berupa text atau gambar), menerobos lampu merah, dan lain-lain. Yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah: apakah mengirim 'surat cinta' semacam itu cukup efektif diterapkan disini?

Di negara-negara lain sistem serupa sudah dilaksanakan sejak lama. Penulis juga pernah harus membayar denda semacam itu, karena mobil penulis tertangkap kamera melakukan pelanggaran batas kecepatan, sekalipun yang mengemudikan orang lain, atas sepengetahuan penulis. Pernah juga ada kejadian, yang melakukan pelanggaran orang lain, tapi yang harus membayar dendanya penulis, karena kesalahan identifikasi oleh petugas, dan kakunya sistem penanganan keluhan pada pihak yang berwenang (kepolisian).

Bedanya dengan kondisi di Indonesia, di negara-negara lain semua mobil tercatat (terdaftar) atas nama pemilik yang sesungguhnya, yang memang secara fisik menguasai kendaraan. Sedangkan di negara kita, sebagian besar pemilik kendaraan yang terdaftar (tertulis namanya dalam BPKB dan STNK) adalah 'pemilik semu', karena kendaraan yang dimiliki sudah berpindah tangan (dijual) tapi tanpa balik nama. Inilah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement).

Kenapa di Indonesia banyak kendaraan terdaftar atas nama pemilik semu, sementara di negara lain semua kendaraan terdaftar atas nama pemilik yang sah? Jawabnya sangat jelas: karena di negeri ini ada kewajiban membayar Bea Balik Nama (BBN) yang cukup besar jumlahnya (mahal), sementara di negara lain tidak ada bea balik nama alias gratis, atau kalaupun ada, sangat murah.

Di Inggris misalnya, administrasi kepemilikan kendaraan dan SIM dipusatkan secara nasional di DVLA (Driver and Vehicle Licensing Authority) di Swansea, Wales. Orang yang menjual kendaraan cukup mengisi formulir yang ditandatangani bersama dengan pembeli dan mengirimkannya ke DVLA. Dalam waktu kurang dari dua minggu dokumen kepemilikan kendaraan yang baru, atas nama pembeli, sudah dikirim ke alamat pembeli. Proses ini sepenuhnya gratis. Demikian juga di Malaysia atau Arab Saudi, proses jual beli kendaraan dan balik nama sangat cepat, dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari satu jam, dan gratis.

Kembali kepada kondisi di tanah air, proses balik nama cukup rumit, memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Itulah sebabnya banyak orang tidak melakukan balik nama ketika menjual atau membeli kendaraan bekas pakai. Memang setiap kali membayar pajak tahunan (perpanjangan STNK) harus menyertakan KTP asli pemilik kendaraan. Tapi ketentuan inipun selalu bisa disiasati, sehingga orang tidak merasa perlu melakukan balik nama. Meskipun kendaraan sudah berpindah-tangan 2-3 kali atau bahkan lebih, tapi data pemilik kendaraan yang tercantum di dokumen resmi masih pemilik pertama. Dan kendaraan seperti ini, kalau dijual lagi, akan selalu diaku sebagai 'kendaraan tangan pertama', yang memang memiliki nilai jual lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan tangan kedua dan seterusnya.

Kendala dalam pelaksanaan ETLE adalah: 'surat cinta' akan dikirim kepada pemilik yang terdaftar. Kalau kendaraan sudah dijual, pemilik lama akan membalas 'surat cinta' itu dengan mengatakan bahwa kendaraan tersebut sudah bukan miliknya lagi. Kemungkinan besar nama dan alamat lengkap pemilik baru pun tidak diketahui. Sampai disini urusan pembayaran denda macet, dan baru dapat terlaksana pada saat pemilik baru melakukan membayar pajak, dengan syarat membayar denda dan melakukan balik nama. Pertanyaannya: mengapa sistem balik nama kepemilikan kendaraan tidak dibuat menjadi mudah dan murah?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun