Mohon tunggu...
Dimas Wibisono
Dimas Wibisono Mohon Tunggu... Guru - Akademisi di salah satu universitas di Riyadh, Arab Saudi

Lahir, membesar dan sekolah di Yogyakarta. Sampai kini masih belajar sambil mengajar di lingkungan pendidikan tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pulang Kampung Paling Bingung (2)

20 Desember 2020   15:19 Diperbarui: 20 Desember 2020   15:24 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(sambungan dari artikel sebelumnya)

Sebelum berangkat kami harus mengisi kartu kontrol kesehatan (e-HAC atau electronic-Health Alert Card) melalui situs Kemenkes (Kementerian Kesehatan) Indonesia, agar proses pemeriksaan kesehatan setibanya di Bandara Soekarno-Hatta berjalan lancar. Juga formulir pendaftaran untuk ikut test swab (PCR) paket Garuda.

Menurut informasi yang kami dapat sebelum keberangkatan, jika kami ikut paket test swab Garuda, kami hanya membayar Rp1.500.000,- per orang untuk test PCR, plus penginapan di Swiss Belhotel Airport Hub Rp650.000,- full board (dapat makan dan minum 3 kali sehari) untuk 2 orang dalam 1 kamar. 

Karena kami bertiga dengan anak, biaya penginapan bertiga dalam 1 kamar dapat dirundingkan dengan pihak hotel. Demikian penjelasan dari agen Garuda di Riyadh. Hasil test swab akan siap dalam satu hari. Pilihan yang lain adalah: test swab dan penginapan gratis di Wisma Atlet. Akan tetapi kami harus menunggu hasilnya antara 3-5 hari. Dengan mempertimbangkan waktu, keamanan dan kenyamanan, kami memilih ikut paket Garuda.

Berangkat Kamis dini hari (Jum'at tengah malam) dari Riyadh, setelah transit di Banda Aceh satu jam, pesawat kami mendarat di Bandara Soekarno Hatta sekitar pukul 15:00 WIB. Proses pemeriksaan kesehatan di terminal kedatangan sudah banyak diceritakan oleh penulis lain, sehingga saya tidak perlu merangkumnya lagi secara detail. Saya hanya ada beberapa catatan tentang perbedaan antara harapan dan kenyataan yang terjadi dalam proses tersebut.

Pertama, tentang pengisian data di e-HAC, anggapan kami dengan mengisi formulir secara online kami tinggal menunjukkan data yang tersimpan di HP. Ternyata kami harus mengisi ulang data yang sama pada formulir yang disodorkan. 

Kedua, tidak ada 'flow chart' (bagan alir) tentang proses pemeriksaan di terminal kedatangan, dan tidak ada petugas yang mengontrol kelengkapan proses yang sudah dilalui oleh setiap penumpang. Yang terjadi pada saya dan keluarga, kami sudah hampir sampai di tempat menunggu bus yang akan membawa kami ke hotel, ketika ada yang menanyakan: 'mana kalung Bapak?' 

Rupanya setiap penumpang pesawat yang sudah selesai tahap pemeriksaan di terminal kedatangan akan diberi kalung (mirip dengan yang dipakai peserta seminar) sebagai tanda siap diberangkatkan ke tempat karantina (hotel yang ditunjuk atau Wisma Atlet). Kami tidak tahu kalau harus memakai kalung karena tadi tidak ada petugas yang memberikan atau mengontrol di pintu keluar. 

Akibatnya saya harus berjalan kembali, dengan tergesa-gesa, ke tempat pemeriksaan kesehatan, melalui pos kontrol paspor (imigrasi), yang jaraknya lumayan jauh. 

Bayangkan, kami mendarat pukul 15:00 dan baru bisa keluar dari gedung terminal kedatangan sekitar pukul 22:00 dalam keadaan lelah, lapar, haus dan mengantuk. 

Point yang ketiga: antrian tidak tertib, beberapa kali terjadi saling mendahului sehingga membuat suasana kurang nyaman, terutama untuk penumpang golongan usia lanjut seperti saya.

Kami sampai di hotel antara pukul 22:00-23:00. Disini muncul lagi kekecewaan karena informasi yang kami peroleh sebelum keberangkatan tidak akurat. Tarif hotel bukan Rp650.000,- satu kamar berdua full-board, akan tetapi harga itu ternyata berlaku per orang dalam satu kamar. Kalau satu kamar dipakai berdua menjadi Rp900.000,- dan untuk bertiga tanpa extra bed Rp1.200.000,-. 

Kami tidak mungkin mundur lagi untuk mengambil alternatif yang lain (penginapan di Wisma Atlet dengan test swab gratis). Setelah membereskan urusan sewa kamar hotel, kami baru bisa menjalani test swab di gedung sebelah hotel pada pukul 23:00. Pengambilan sampel lendir dari tenggorokan dan hidung berlangsung cepat, meskipun sedikit kurang nyaman. 

Menjelang tengah malam barulah kami dapat masuk ke kamar hotel untuk makan malam (diantar ke kamar dalam bentuk box) dan beristirahat. Apa lacur, ternyata masih ada kekurangan fasilitas kamar hotel yang cukup mengganggu: pendingin ruangan (AC) tidak berfungsi. 

Saya harus menelpon resepsionis, kemudian menunggu teknisi datang untuk melakukan perbaikan, alhasil mungkin sudah lewat jam 1:00 dini hari baru kami bisa mencoba mulai tidur.

Singkat cerita, kami lalui Jum'at malam, Sabtu pagi dan siang sampai sore di dalam kamar hotel saja, makan dan minum diantar ke kamar tepat tiga kali, dalam kemasan dan menu yang persis sama, sesuatu yang sesungguhnya kurang berkelas untuk hotel di lingkungan bandara dan bertaraf internasional sesuai dengan namanya. 

Tapi semua kami syukuri, yang paling penting kami sudah sampai di Jakarta dengan selamat, lebih-lebih ketika hasil test swab keluar menjelang waktu shalat maghrib dan kami bertiga dinyatakan negatif Covid-19. 

Alhamdulillah, setelah 75 tahun merdeka baru kali ini kami merasa benar-benar merdeka, karena berdasarkan hasil test tersebut kami bebas pergi tanpa kewajiban karantina 14 hari di Jakarta.

Perjalanan selanjutnya menuju kampung halaman ada beberapa pilihan: dengan pesawat terbang, kereta api, atau mobil. Mengingat perjalanan dengan pesawat dari Riyadh ke Jakarta yang cukup mendebarkan, kami berusaha menghindari penggunaan angkutan umum. 

Saya punya mobil di Yogya, dan saya merasa masih sanggup mengemudi dari Jakarta ke Yogya bergantian dengan isteri. Tapi siapa yang akan membawa mobilnya ke Jakarta? Dari pencarian lewat google beberapa hari sebelum berangkat dari Arab Saudi, kami menemukan usaha sewa mobil di Yogya yang bersedia menjemput pelanggan di Jakarta (atau dimana saja) untuk dibawa pulang ke Yogya dengan tarif yang masuk akal. Yang jadi pemikiran kami adalah soal kebersihan mobil dan pengemudinya. 

Boleh jadi mobilnya habis dipakai satu keluarga dan belum sempat dibersihkan tuntas, atau sopirnya mampir di warung sembarang sepanjang perjalanan dari Yogya ke Jakarta. 

Untunglah, akhirnya adik saya merelakan sopir pribadinya untuk menjemput kami di Jakarta, dengan pesan untuk mengikuti protokol kesehatan secara ketat, sehingga saya tidak perlu mengemudi sendiri. 

Begitulah akhir cerita perjalanan pulang kampung kali ini, Sabtu 12 September 2020 sampailah kami di kampung halaman tercinta. Memang kami masih harus melanjutkan isolasi mandiri selama 14 hari kedepan sebelum boleh beraktivitas secara terbatas dalam masa pandemi. Tapi setidaknya kami telah berhasil menuntaskan misi perjalanan pulang kampung yang cukup heroik ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun