Udara kota Solo memang benar- benar panas dan kering, membuat kuliah pakai kaos
Terasa begitu nyaman, nggak panas and gerah. Apalagi saat ini banyak banget model kaos yang emang didesain untuk anak muda, lebih keren, n yang pasti, tetep funky. Dan nggak beda jauh ama nasib sang kaos, sandal pun akhirnya ikut-ikutan jadi trend. Selain nggak ribet, desain sandal juga bisa dibilang up to date.
Saat ini banyak mahasiswa yang memakai kaos dan sandal saat kuliah. Bahkan beberapa diantaranya ada yang pernah, sering malah, kena tegur dosen. Ada yang taraf tegurannya 'Cuma' diperingatkan, tapi ada pula yang langsung diminta keluar kelas oleh sang dosen. Tak taukah mereka behwa memang ada peraturan yang mengaturnya?
"Perhatian: pakai sandal, topi, kaos dilarang masuk". Tulisan yang ada di gedung IV itu mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita, apalagi bagi mereka yang setiap hari melewatinya. Tapi sepertinya, kebanyakan dari kita sudah 'kebal' dengannya, terbukti walaupun tulisan itu masih saja terpampang
Manis di pintu manis kaca tersebut, setiap kali melewati- nya, kita tidak pernah sedikitpun mencoba untuk 'sekedar mematuhinya'. Begitu juga teguran- teguran kecil dari teman-teman yang 'mencoba mengingatkan' peraturan kampus tentang larangan memakai sandal dan kaos kala kuliah ataupun juga 'peringatan agak keras' dari dosen yang memang disiplin. Sepertinya semua itu hanyalah belaian- belaian lembut di telinga, sekedar intermezo, tapi kadang-kadang ada juga yang akhirnya 'sadar'. Tapi bagi teman-teman lain yang sudah terlanjur 'kecanduan' memakainya, tampaknya peraturan dan teguran-teguran itu hanyalah angin lalu yang sepintas saja mampir di telinga. Seperti halnya Arif NS (salah satu pengurus Peron,red) berpendapat bahwa memang seperti itulah style mereka an akan sangat sulit untuk merubahnya. Lalu bagaimana kalau ditegur dosen atau lebih parah lagi, tidak diizinkan mengikuti mata kuliahnya alias dikeluarkan dari kelas? "Ya, pada saat itu saja kita rapi, seterusnya sih balik lagi." Dan fakta yang ada saat ini adalah, ternyata ada begitu banyak Arif di FKIP ini yang selalu tampil engan gaya 'cuek dan nyantai'.
Mengapa style seperti itu yang mereka anut dan menjamur saat ini? Akan ada banyak alasan yang mengemuka. Tapi yang pasti, 'penganut aliran ini' menilai bahwa seperti itulah karakter mereka. Mereka selalu mengidentikkan pakaian dan dandanan seperti itu dengan kebebasan. Mereka tidak ingin dikekang dan ingin selalu tampil apa adanya. Apalagi ditopang dengan jiwa-jiwa muda mereka yang selalu bergolak dan menggelora, yang tidak akan pernah bersedia untuk tunduk terhadap peraturan-peraturan yang akan 'memasung kebebasan' mereka. Seperti yang dikemukakan Salko (Salkomara Soma Ridho, mantan ketua Brahmahardhika, yang sekarang menjabat sebagai pembina Brahma) "Sekarang ini jamannya kebebasan, yang penting kan otak." Dan pendapat Salko tersebut diperkuat pula oleh pernyataan Arif, "Saat ini yang penting kan otak. Kalau soal pakaian saya kira kurang berpengaruh, dari pada pakaian kita resmi, rapi tapi otakkosong kan sama aja bo'ong".
Bagi sebagian orang, style yang dianut oleh Arif cs tentu saja terlihat aneh dan 'tidak sopan'. Hal ini dilihat dari latar belakang mereka yang kuliah di FKIP, yang notabene adalah calon guru. Saat ini, kebanyakan or- ang memandang guru sebagai sosok yang payut diteladani. Keteladanan selalu diidentikkan engan kewibawaan dan kewibawaan selalu diidentikkan dengan pakaian. Seperti yang diungkapkan oleh ketua SKI terpilih, Ikhwan Mujahid, "Karena kita dilembaga pendidikan, selayaknyalah dihindarkan berpakaian yang seperti itu, karena hal tersebut akan menurunkan kewibawaan". Oleh karena itu, seorang guru akhirnya merasa bahwa penampilan merupakan sesuatu yang sangat penting. Seorang guru selalu berpikir "Bagaiaman mungkin orang lain atau anak didik akan menghargai dan menghormati saya kalau pakaian saya tidak baik alias pakaian 'seadanya'?". Dan mungkin pikiran itu berimbas pula pada para 'calon guru'. Sehingga, dibuatlah peraturan-peraturan yang pada gilirannya 'mendidik' para calon guru agar berpakaian yang 'lebih formal dan rapi'. Oleh sebab itu, bila ada calon guru yang nyeleneh dalam berpakaian maka masyarakat dan lingkungan sekitar akan langsung menegur dan memperingatkannya.
Apakah hanya karena posisi kita sebagai calon guru sehingga kita harus berpakaian rapi? Mungkin penjelasan panjang lebar dari Salko dapat kita jadikan acuan untuk menjawabnya. "Saya pribadi berpakaian rapi itu kan belajar, karena saya melihat dunia luar itu melihat seseorang dari performance-nya. Umpamanya kalau kita ngelamar kerja pakai pakaian yang seadanya kita pasti akan dicoret duluan, tapi kalau rapi ada penilaian khusus. Nah pendidikan itu kan melatih mahasiswa untuk tertib."
Kita sudah menengar begitu banyak alasan yang dikemukakan oleh masing-masing pihak untuk mendukung tindakan mereka. Tapi bukan rahasia lagi kalau saat ini kita berada dalam sebuah institusi pendidikan, yang tentu saja, mempunyai peraturan- peraturan yang mutlak harus dijalankan oleh semua komponen yang ada didalamnya. Termasuk juga peraturan tentang pakaian. Dalam buku pedoman dijelaskan bahwa setiap mengikuti kuliah dalam ruang kuliah, mahasiswa harus memakai pakaian yang sopan, rapi dan bersepatu. Dan peraturan tersebut lebih diperinci lagi dihalaman berikutnya, yaitu: untuk mahasiswa berpakaian rapi dan sopan, bercelana panjang dan memakai hem (kemeja), bersepatu dan berkaos kaki. Seangkan untuk mahasiswi, berpakaian rapi, sopan dan bersepatu. Tapi seperti kata salah satu dosen kita, "Peraturan itu dibuat kan untuk dilanggar." Nah sekarang pertanyaan mendasar yang harus kita ajukan adalah, apa dan bagaiaman jadinya kalau setiap orang berprinsip sama dan tidak ada lagi sistem kontrol yang benar-benar dijalankan?
Berbicara tentang peraturan, maka kita tidak akan lepas dari sanksi yang harus diterima. Seperti kita semua tau, bahwa saat ini sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi belum benar-benar diterapkan. Hanya sebagian dosen saja yang benar-benar teliti 'memeriksa' mahasiswanya, yang kemudian menerapkan sanksi atas pelanggaran yang mereka lakukan. Kebanyakan dosen masih enggan melakukannya. Senada dengan dosen, sepertinmya pihak fakultas pun masih enggan 'memikirkan' masalah pakaian ini. Terbukti mereka tidak segera merevisi peraturan atau sanksinya, setidaknya lebih mempertegas lagi. Pihak fakultas malah cenderung menyerahkan urusan ini mutlak pada dosen pengampu. Sedang di pihak mahasiswa sendiri, sebenarnya juga tidak begitu keberatan bila sanksi tersebut benar-benar diberlakukan, asal, seperti pendapat Salko "yang jelas asalkan dari pihak fakultas mempunyai misi dalam artian untuk melatih mahasiswa. Jadi memberi aturan itu jangan sekedar kamu seperti ini, kamu seperti itu. Mengkin mahasiswa nggak paham dengan maksud aturan itu. Nanti kalau terlalu diatur malah lebih banyak berontaknya. Pokoknya aturan itu nggak terlalu mengikatlah. Bisa aturan-aturan itu diperjelas dengan tujuan- tujuannya, melalui sosialisasi dari pihak program sebagai ujung tombaknya. Mini- mal dalam kegiatan formal, karena itu bisa melatih kita."
Bagaimanapun juga, sebuah peraturan harus dilengkapi dengan sanksi- sanksinya. Setiap dari kita pasti ingin seperti apa adanya. Kita ingin tampil seutuhnya dan seutuhnya pula orang lain mengakui eksistensi kita. Kita tidak ingin dikekang, dan selalu saja menginginkan sebuah kebebasan bagi diri dan jiwa kita. Tapi apa yang akan kita lakukan bila idealisme kebebasan kita, yang telah sekian lama kita pupuk dan kita lestarikan, akhirnya harus dibenturkan dengan sebuah kata yang bernama 'peraturan'? dan apakah sebuah 'peratiran' akan mampu memporak porandakan keyakinan yang telah sekian lama kita anut? Semua jawabannya adalah sebuah kemungkinan dan kemungkinan- kemungkinan yang timbul hanya akan mampu dijawab oleh masing-masing dari kita, dan tentu saja, didasarkan Dan akhirnya let's be your self. Tanyakan pada hati nuranimu, benarkah bahwa kamu yang sekarang adalah kamu yang sesungguhnya? Atau jangan-jangan kamu yang sekarang adalah kamu 'pesanan', kamu seperti itu karena ada orang lain yang menginginkan kamu seperti itu. Taukah engkau kawan, yang berhak mengaturmu adalah diri kamu sendiri, bukan orang lain, bukan orang tua, apalagi pacar. Dan ingatlah bahwa yang pal- ing tau siapa kita adalah diri kita sendiri. So, pikirkan baik-baik dan renungkan dalam-dalam, apa yang tlah kau lakukan kemarin dan apa yang akan kau lakukan lusa, jangan sampai sisa hidupmu besok kau habiskan hanya' untuk sebuah penyesalan yang tiada berujung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H