Mohon tunggu...
Gadis Arum Sari
Gadis Arum Sari Mohon Tunggu... -

hobi membaca dan belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Aku, Kamu, dan Dia

11 November 2012   05:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:38 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tak tahu, apakah aku benar-benar menginginkan perceraian ini atau tidak. Tapi kenyataannya semua ini memang sudah terjadi. Ya, ini semua memang kesalahanku, murni kesalahanku, bukan kesalahan kamu atau orang tua kita. Aku yang membiarkan diriku terjatuh dalam cintamu. Entah berapa kali mamak dan bapak mengingatkanku sebelum akad suci itu terjadi. “Nduk, apa kamu dah yakin dengan pilihanmu itu, dipikir baik-baik, sebelum semuanya terlanjur”. Dan aku yang waktu itu –mungkin logikaku sedang tertutup oleh cinta-, sangat yakin kamu akan berubah setelah pernikahan itu terjadi.

Entah kenapa waktu itu kita harus bertemu untuk pertama kalinya, mungkin takdir. Aku tahu masa lalumu dari ceritamu, sedikit, tidak banyak. Kamu dulu pecandu narkoba, “itu dulu, sekarang sudah tidak lagi”, aku sangat percaya dengan kata-katamu waktu itu. Entahlah, mungkin aku terlalu bodoh untuk mempercayaimu, atau mungkin sedang tergila-gila oleh cinta. Dan semuanya berjalan begitu saja, aku tak peduli dengan kata-kata orang tua yang berkali-kali menasehatiku. Aku yakin dengan pilihanku, walau kau sering menyakiti hatiku sebelum pernikahan itu terjadi. Tapi entahlah dulu hatiku terbuat dari apa, yang pasti aku yakin itu hanya masa lalumu yang salah, aku berjanji akan menuntunmu ke masa depan yang benar. Ah, ternyata dulu aku terlalu percaya diri.

Akhirnya penikahan itu benar-benar terjadi. Mungkin orang tuaku dengan berat hati merestuiku, mereka tersenyum di hari pernikahanku, entahlah, mungkin di hati mereka menangis.

Mulailah “hidup baru” itu ku jalani denganmu di kotamu, walaupun sangat berat meninggalkan kotaku dan orang tuaku, tapi aku berstatus istri, harus ikut suami. Tak lama, hanya butuh waktu 2 minggu, akhirnya aku dan orangtuaku tahu kenyataan sebenarnya, kau masih ‘berkencan’ dengan barang haram itu. Tapi masih saja aku mengingkari kenyataan itu. Kau pasti akan berubah, cepat atau lambat, pasti perubahan itu akan terjadi.

Entah berapa kali perselisihan kecil itu terjadi. Hidup di rumah mertua menambah beban masalahku. Aku lebih suka menghabiskan waktu di tempat kerja, tak masalah walaupun 7 hari dalam seminggu. Dan faktanya, walaupun aku bekerja 7 hari dalam seminggu, uangku selalu habis di akhir bulan. Selalu saja ada alasanmu, untuk ini, untuk itu, dan tega sekali kau berkali-kali menggadaikan cincin kawin kita, dan akulah yang setiap bulan harus menebusnya.

Tetapi, aku masih menyayangimu, entah terbuat dari apa hatiku. Semua kata-kata kejimu tak ku masukkan ke dalam hatiku, cukup masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Setiap kamu keluar rumah, ku tanya kamu ada di mana, selalu kamu jawab, sedang bersama si A, lagi nganter si B, nonton sama si C. Entahlah, mungkin aku bukan istri yang baik sehingga kamu masih pergi dengan wanita lain, si A, si B, si C, entahlah siapa mereka, ditambah lagi dengan panggilan sayang di ponselmu dari wanita lain. Yang pasti sebagai wanita aku sangat sakit, sakit sekali. Bagaimana aku bisa menyambutmu dengan senyuman ketika kamu pulang kerja, sakit sekali hati ini, tapi aku tetap bertahan.

Pernikahan baru berjalan 5 bulan. Kau sakit, benar-benar sakit parah dalam arti yang sebenarnya. Fakta ini membuatku bertanya, “Tuhan, apa salahku?”. Aku tak tahu apa rencana Tuhan di balik semua ini. Vonis HIV itu membuatku benar-benar terpuruk. Ya, itu mungkin hukuman terbaik untukmu. Hampir aku putus asa. Banyak pertanyaan yang muncul di otakku. Apa aku tertular juga? Bagaimana dengan masa depanku kelak?

Aku tak bisa membedakan mana fakta dan mana ilusi. Aku selalu saja percaya kata-katamu sebagai suamiku. Bukan kata-kata mertua atau orangtuaku sendiri. Aku flash back kembali ingatanku, mungkin wanita-wanita itu hanya sekedar alibimu supaya aku tak bertanya-tanya lagi ketika kamu sedang ‘berkencan’ dengan barang haram itu.

Tapi Tuhan masih memberiku kesabaran yang luar biasa. Aku masih menyayangimu, merawatmu 3 bulan lamanya. Disisi lain aku senang kamu sakit, karena akhirnya kamu putus hubungan dengan barang haram itu. Tak apalah aku menjalani sisa umurku untuk merawatmu karena yakin kamu akan berubah.

Sampai akhirnya hari itu tiba, setelah 3 bulan akhirnya kamu mulai pulih dari sakitmu. Kamu sudah lebih sehat. Tapi ternyata itu bukan kabar baik. Kamu ternyata CLBK lagi dengan barang haram itu. Jarum suntik dengan sisa darahmu itu memporak-porandakan seluruh kesabaran dan kepercayaan yang dengan susah payah aku bangun selama ini.

Aku tak bisa bertahan dengan cinta segitiga ini. Aku cinta kamu, tapi kamu terlalu cinta dia. Tuhan aku menyerah. Mungkin perpisahan ini memang harus terjadi. Cukup 300 hari aku habiskan waktuku untukmu. Aku yakin bisa lanjutkan hidupku tanpamu. Tak lupa aku selalu berdoa agar suatu saat kamu bisa benar-benar putus hubungan dengan dia.

It’s time to say goodbye. Palu hakim sudah di ketuk, I’m free now.

#tulisan pertamaku:)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun