Laut beserta isinya adalah suatu hal yang sangat vital untuk bangsa Indonesia. Total jurisdiksi nasional Indonesia, diperkirakan seluas hampir 7,8 juta km2 yang terdiri dari 1,9 juta km2 luas daratan, 2,8 juta km2 luas perairan nusantara (archipelagic waters), 0,3 juta km2 luas perairan territorial laut dan 2,7 juta km2 luas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Luas perairan dan sumberdaya yang berada didalamnya dapat memberikan implikasi positif bagi perekonomian Indonesia.
Selain itu Indonesia juga dikenal sebagai negera yang kaya akan kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang tinggi, baik yang sumberdaya alam yang terbarukan (renewable resources) maupun yang tidak dapat terbarukan (un-renewable resources), Potensi ekonomi yang sangat besar yang terkandung di perairan laut dan pesisir Indonesia, antara lain berupa perikanan, baik tangkap maupun budidaya, industri bioteknologi laut, industri pertambangan laut yaitu minyak bumi, mineral dan energi; parawisata laut, perhubungan laut dan sumberdaya laut lainnya.
Namun sayangnya keunggulan kompetitif tersebut belum dapat dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia secara maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Seperti halnya negaranegara berkembang lainnya di dunia, Indonesia juga masih menghadapi kendala dalam pengelolaan, konservasi dan perlindungan kawasan laut beserta ekosistem dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya.
Menurut H.Supriadi dan Alimuddin, produk perikanan tangkap di Indonesia pada Tahun 2007 adalah 4.924.430 ton.1 Meningkatnya eksploitasi hasil perikanan, menyebabkan para nelayan maupun perusahaan perikanan dalam melakukan proses eksploitasi sering terjadi persaingan yang tidak saja dilakukan secara legal, namun terkadang jugadilakukan secara ilegal. Salah satu bentuk tindakan eksploitasi hasil perikanan yang ilegal yaitu penggunaan bahan peledak atau yang dikenal dengan istilah "bom ikan" dalam menangkap. Penggunaan bahan peledak atau Bom ikan  untuk menangkap pada prinsipnya merupakan suatu tindak pidana yang bertentangan dengan  Pasal 84 dan Pasal 85 Undang-Undang No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
 Akibat dari tindakan pemboman ikan juga dapat merusak kehidupan ekosistem laut sehingga menghambat upaya konservasi dan perlindungan lingkungan laut termasuk perlindungan perikanan daerah. Menurut Muhamad Erwin, pencemaran pantai, sedimen yang tebal akibat penebangan hutan di hulu, penangkapan ikan dengan racun dan bom, penggalian batu karang, dan penangkapan ikan yang berlebihan di beberapa tempat juga mengancam keanekaragaman hayati pantai dan laut Indonesia yang tidak ada tandingnya di dunia.2 Maka penegakan terhadap pelaku pemboman ikan merupakan suatu hal  yang  sangat  mendesak.
Hampir semua praktek penangkapan secara illegal yang terjadi di Indonesia sebagian besar dilakukan di Zona Ekonomi Eksklusif. Hal ini sejalan dengan pemerintah yang sedang gencar-gencarnya memberantas pencurian ikan. Ketidakjelasan Pasal 102 Undang-Undang Perikanan menimbulkan penafsiran yang berbeda pada hakim dalam menangani perkara. Konsekuensi meratifikasi United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS 1982) menghasilkan tanggung jawab baru bagi pemerintah untuk menerapkan aturan yang ada didalam UNCLOS 1982 menjadi hukum nasional yang berlaku di Indonesia
. Termasuk ketentuan penegakan hukum terhadap kapal penangkap ikan asing yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif. Tipe penelitian ini adalah penelitian normatif yuridis dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Larangan penjatuhan hukuman badan terhadap Nahkoda atau Kepala Kamar Mesin kapal berbendera asing tidak boleh dikenai hukuman badan tapi dijatuhi hukuman denda.
Ketentuan ini menimbulkan permasalahan baru, yaitu, syarat-syarat yang menyatakan denda harus dibayar, tidak dipatuhi. Hal ini menyebabkan kerugian baru bagi negara. Dalam prakteknya, terdapat perbedaan penerapan pemidanaan oleh hakim dengan dasar pertimbangan demi keadilan dan kepastian hukum.
Tinjauan Tindak Pidana Pencurian Ikan di Wilayah ZEEI menurut UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang PerikananÂ
Undang-undang perikanan sebagai payung hukum masalah perikanan di Indonesia tentunya membahas mengenai persoalan pencurian ikan yang terjadi di Indonesia. Sebelum membahas lebih lanjut, perlu diperhatikan bahwa undang-undang ini memiliki ruang lingkup yang membatasi pemberlakuannya. Ruang lingkup tersebut diatur dalam Pasal 4. Dalam rangka melakukan pengelolaan perikanan, negara pantai wajib tunduk terhadap UNCLOS 1982, khususnya bila negara yang bersangkutan telah meratifikasi UNCLOS 1982 ke dalam perundang-undangan nasionalnya. Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi UNCLOS 1982 ke dalam bentuk UndangUndang Nomor 17 Tahun 1958, tentu harus memperhatikan substansi dari UNCLOS 1982 dalam membentuk perundang-undangan nasionalnya yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan. Salah satu contoh perwujudan ditaatinya ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS 1982 adalah dengan menyelaraskan ketentuan pidana yang ada di dalam undang-undang perikanan agar berkesesuaian dengan ketentuan yang terdapat dalam UNCLOS 1982. Pada dasarnya, tindak pidana perikanan dapat terjadi karena beberapa hal, yakni:
 (1) Penggunaan metode dan teknologi produktif yang destruktif;