Tahun 2019 sudah berganti, banyak hal yang berubah di tahun 2020 ini. Mulai dari resolusi mandiri yang hanya mentok pada status di awal bulan Januari, hingga resolusi kebijakan pemerintah yang imbasnya luas menimpa masyarakat.Â
Menjelang akhir tahun 2019 sudah digembar-gemborkan akan adanya kenaikan tarif BPJS dan harga rokok yang isunya membuat rakyat kalang kabut. Ya, meskipun pelan-pelan tapi pasti, tarif BPJS dan harga rokok memang sudah naik sejak akhir tahun 2019 kemarin. Lagi, sebagai masyarakat proletar seperti saya, memang harus menerima dengan merogoh kantong yang semakin dalam semakin kosong. Zonk!
Dilansir dari tirto.id, kenaikan paling senter dan banyak dikeluhkan masyarakat sejak beberapa bulan terakhir tahun 2019 lalu adalah kenaikan harga rokok sebesar 35 persen. Bagaimana tidak, di setiap pojokan ketika menunggu seseorang, ketika bersantai, ketika gabutt, ketika suwung, mayoritas masyarakat (khususnya laki-laki) menghisap batang yang katanya sangat nikmat itu. Batang rokok maksudnya. Tentu saja ketika ada kabar kenaikan, kebakaran jenggot pun terjadi dimana-mana.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, para pedagang kelas bawah pun sudah mengantisipasi rencana kenaikan rokok pada bulan Januari ini. Sehingga, pelan-pelan kenaikan itu sudah dilakukan sejak beberapa bulan terakhir tahun lalu. Badan Pusat Statistik juga mencatat kenaikan dilakukan secara bertahap sudah digelar di 50 kota di Indonesia sepanjang bulan November 2019. Tahapan itu dilakukan tentu saja supaya publik tidak shock berat dengan pengeluaran harian yang semakin meningkat. Bertahap tapi pasti, kenaikan harga rokok memang sudah digariskan seperti takdir.
Oh iya, selain rokok konvensional, ternyata pemerintah juga menaikkan harga jual rokok elektrik loh. Rokok elektrik atau dikenal dengan istilah vape ini harganya juga ikut naik berdasarkan klasifikasi vape sebagai produk tembakau versi lain. Dududuh, sudah jatuh, ketimpa genteng pula!
Kado tahun baru dari pemerintah selain tentang harga rokok, tak kalah menarik adalah kenaikan tarif BPJS. Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS naik per 1 Januari 2020 di semua segmen peserta kecuali penerima bantuan iuran dari pemerintah atau PBI.Â
Kebutuhan akan layanan kesehatan memang penting gaesss, sehingga hampir seluruh elemen masyarakat menggunakan BPJS sebagai pemenuhan kebutuhan akan kesehatan. Kenaikan iuran BPJS sebanyak dua kali lipat itu semakin menciptakan jurang pemisah antara pendapatan masyarakat dengan pengeluaran. Sehingga tahun 2020 sepertinya menjadi tahun yang tidak ramah untuk kantong kita. Huft!
Masih dilansir dari tirto, dalam ketentuan pasal 34 peraturan presiden nomor 75/2019, diatur bahwa iuran peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Kelas 3 akan meningkat dari Rp. 25.000,- menjadi RP. 42.000,-.Sementara untuk iuran peserta atau mandiri Kelas 2 akan meningkat dari Rp. 51.000,- menjadi Rp. 110.000,-. Kemudian untuk iuran peserta Kelas 1 akan naik dari Rp. 80.000,- ke Rp. 160.000,-.
Peraturan tersebut membuat pemerintah memutuskan menaikkan iuran peserta mandiri BPJS sebesar 100 persen. Tentu saja bagi masyaraka yang tidak kuat membayar, akan menyesuaikan kemampuan keuangannya dengan cara eksodus turun kelas. Kepala Humas BPJS Kesehatan Muhammad Iqbal Anas Maruf menyatakan pengajuan permohonan turun kelas banyak dilakukan peserta untuk menyesuaikan kemampuan membayar iuran.
Karena ulah BPJS tersebut, tentu saja ia harus bertanggungjawab mengatasi para peserta mandiri yang menginginkan turun kelas. Benar adanya, BPJS Kesehatan telah menyiapkan program praktis atas 'perubahan kelas tidak sulit' yang sudah berlaku sejak 9 Desember 2019 kemarin hingga 30 April 2020 mendatang. Sadar diri tuh namanya!
Akan tetapi, sebenarnya kenaikan itu wajar dilakukan untuk menambal defisit yang semakin besar. Bayangkan saja sejak tahun 2014, Kementerian Keuangan mencatat program JKN terus mengalami defisit. Saya mengutip dari berita kompas, besaran defisit JKN sebelum memperhitungkan intervensi pemerintah masing-masing sebesar Rp 1,9 trilliun pada tahun 2014.