Mohon tunggu...
Arini Saadah
Arini Saadah Mohon Tunggu... Penulis - Suka nulis, tapi tidak tahu apa yang hendak ditulis.

Pernah menjadi mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi di Ponorogo.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sinyal Kemiskinan Tahun 2020 yang Semakin Kuat karena Kenaikan Iuran BPJS

6 Januari 2020   08:16 Diperbarui: 6 Januari 2020   09:15 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara pada tahun 2015 sebesar Rp 9,4 trilliun, kemudian tahun 2016 sebesar Rp 6,7 triliun. Selanjutnya, pada tahun 2017 sebesar 13,8 trilliun dan di tahun 2018 sebesar Rp 19,4 trilliun. Defisit tersebut dikarenakan banyaknya penunggakan dari para peserta, sehingga BPJS Kesehatan harus menambal tunggakan yang menyebabkan defisit semakin tahun semakin membesar.

Perlu dipahami, tanpa kenaikan iuran, besaran defisit Dana Jaminan Sosial akan terus naik. Diperkirakan akan mencapai Rp 32 trilliun di tahun 2019 dan Rp 65 trilliun di tahun 2020. Maka dari itu pemerintah melakukan intervensi dalam persoalan kenaikan neraca defisit BPJS dengan memberikan Penanaman Modal Negara (PMN) pada tahun 2015 sebesar Rp 5 trilliun dan pada tahun 2016 sebesar Rp 6,8 trilliun. 

Tidak hanya itu saja, pemerintah juga memberikan bantuan APBN dengan angka bombastis sebesar Rp 3,6 trilliun pada tahun 2017 dan Rp 103 trilliun pada tahun 2018. Namun, benarkah kenaikan iuran itu mampu menambal defisit yang sudah sebesar cintaku padamu angka itu?

Mau bagaimanapun, angka-angka itu belum mampu menutupi keseluruhan defisit Dana Jaminan Sosial Kesehatan. Sehingga masih menyisakan defisit hingga akhirnya dikeluarkanlah perpres nomor 75 tahun 2019 seperti telah disebutkan.

Kenaikan iuran BJS Kesehatan juga dapat memicu dampak yang lebih patut diwaspadai yaitu pemicu peningkatan angka kemisikinan. Sinyal akan adanya potensi peningkatan angka kemiskinan itu dapat dilihat dari banyaknya warga yang memilih eksodus turun kelas. Gak papa lah turun kelas, yang penting kehidupan ini terus berlanjut. Kan gak lucu gara-gara kenaikan iuran, peserta memilih untuk mengakhiri hidup. Amit-amit jabangbayik!

Masih ada lagi nih, akibat dari ketidakmampuan membayar iuran, juga akan memicu penambahan penunggakan iuran oleh peserta. Ngutip dulu deh dari berita tempo, bahwa kenaikan iuran BPJS tersebut memberatkan bagi peserta mandiri atau pekerja bukan penerima upah (PBPU) yang kemudian berdampak pada penurunan keinginan dan kemampuan membayar. Kenaikan iuran tersebut tentu saja sangat merugikan masyarakat. Karena dilakukan di tengah kondisi perekonomian yang sedang sayang-sayangnya sulit-sulitnya.

Bagaimana tidak, peserta yang kebetulan adalah para buruh menjerit kesakitan akibat Upah Minimum kota tau kabupaten kan berbeda-beda setiap daerah. Kenaikan iuran 100 persen merata secara nasional, akan tetapi UMK atau UMR tidak merata secara nasional. Disini terdapat ketimpangan secara ekonomi yang dialami masyarakat.

Ekonomi Institute For Development Of Economics And Finance (INDEFF) menyebutkan dampak dari kenaikan iuran hingga batas maksimal 100 persen juga diproyeksikan akan langsung terasa pada tingkat inflasi pada tahun 2020 ini. Karena tekanan daya beli masyarakat terhadap kebutuhan konsumsi akan berkurang. Demi apa coba? Ya demi memenuhi pembayaran iuran BPJS lah. Efek dominonya adalah tekanan pada kinerja konsumsi rumah tangga yang kita ketahui selama ini telah menopang pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi sebesar 57 persen. WOW!

Kemudian muncul pertanyaan, apakah dengan kenaikan iuran peserta dapat mengatasi persoalan defisit yang berulang setiap tahun? Bukankah kenaikan ini justru banyak menimbulkan problematika baru. Seperti fenomena turun kelas, ketidakmampuan membayar berakibat pada peningkatan jumlah penunggakan, angka kemiskinan, dan defisit itu sendiri.

Semestinya BPJS melakukan proses audit dan evaluasi secara menyeluruh untuk menemukan akar permasalahan defisit. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh buruknya tata kelola dan manajerial sebagaimana temuan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menjadi fokus lebih utama. Bukan malah menjadikan persoalan defisit dibebankan kepada rakyat donk!

Semestinya, penanganan yang fundamental revolusioner diperlukan untuk masalah ini. Bukan sekedar menaikkan iuran. Tapi ya sudahlah, meminjam kata-kata Soesilo Ananta Toer "Nasi sudah menjadi tahi". Akan tetapi BPJS juga perlu melakukan beberapa perbaikan, seperti keterbukaan informasi pengelolaan, PBI yang lebih tepat sasaran, pencegahan kecurangan dan kebocoran untuk memperkecil defisit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun