Selama satu tahun terakhir, pandemi mengakibatkan perubahan praktik pendidikan. Jika biasanya siswa terutama belajar di sekolah, kini justru belajar di rumah. Namun, Juli mendatang siswa sudah dapat belajar kembali di sekolah.
Terlepas dari  tingkat infeksi Covid-19 di Indonesia yang masih pada angka 12 persen, jauh dari rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang merekomendasikan pembukaan sekolah dapat dilakukan jika tingkat infeksi kurang dari 5 persen.Â
Pemerintah melalui SKB 4 Menteri mengijinkan pembelajaran tatap muka terbatas digelar di sekolah dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Hal ini wajib dilakukan oleh sekolah yang pendidik dan tenaga kependidikan telah melakukan vaksinasi yang ditargetkan selesai pada akhir bulan Juni 2021.
Hal ini tampaknya disambut baik oleh orang tua. Hasil survei yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan di berbagai kota di Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas orang tua setuju jika sekolah dibuka kembali (Pandemic Talks, 3 April 2021).Â
Walaupun demikian, Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) belum merekomendasikan pelaksanaan sekolah tatap muka. Melalui rilis resmi pada 27 April 2021 lalu, IDAI juga menyebutkan berbagai rekomendasi jika memang sekolah tatap muka tetap akan diselenggarakan.Â
Salah satu rekomendasinya yaitu menekankan bahwa penyelenggara, orangtua, dan evaluator harus memastikan bahwa anak beresiko tinggi mendapatkan penjagaan khusus selama penyelenggaraan sekolah tatap muka.
Dilansir dari The Wall Street Journal, Covid-19 beresiko dua kali lebih besar pada orang dengan gangguan spectrum autism dan Down Syndrome. Sebagai salah satu kelompok beresiko, penjagaan ketat pada anak dengan spectrum autism adalah keharusan.
Masuk sekolah kembali berarti akan ada perubahan rutinitas bagi anak yang biasa belajar di rumah selama pandemi. Bagi anak dengan gangguan spectrum autism, perubahan ini merupakan suatu tantangan.Â
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi kelima (DSM-5) yang merupakan panduan diagnosis bagi psikiater. Salah satu kriteria diagnostic gangguan spektrum autism adalah pola perilaku berulang dan resisten. Artinya, tidak mudah mengikuti dan menyesuaikan terhadap perubahan pada rutinitas. Â
Ketika perubahan rutinitas tidak diantisipasi oleh anak dengan gangguan spektrum autism, akibat yang muncul dapat berupa kegelisahan dan kecemasan yang sangat tinggi. Sehingga, akan berdampak pada perilaku dan kondisi emosi anak. Orang tua dapat mempersiapkan anak dalam masa transisi, dari rutinitas penuh di rumah ke rutinitas belajar di sekolah. Akan ada perubahan jadwal, dan struktur kegiatan harian tidak akan sama.
Orang tua harus bekerjasama dengan sekolah dalam merancang program transisi pasca pandemi. Dari kegiatan penuh di rumah ke kegiatan parsial terapi dan belajar di sekolah. Selain itu, orang tua dapat mempersiapkan anak mereka dengan gangguan spectrum autism  menghadapi masa transisi pembukaan sekolah dengan menyiapkan jadwal rutinitas yang menyertakan budaya 5M. Melakukan pengulangan terus menerus hingga menjadi kebiasaan.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI