Mohon tunggu...
Arin Fatmawati
Arin Fatmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis di waktu senggang dan ketika jengah dengan kenyataan. Memfokuskan diri pada isu lingkungan, bahasa, dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Artikel Utama

Problematika Bahan Bakar Fosil di Indonesia

1 Desember 2022   22:00 Diperbarui: 7 Desember 2022   21:07 1295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sektor energi, terutama yang tak terbarukan, menjadi kontributor utama peningkatan emisi karbon dunia dan memperparah ancaman perubahan iklim. Di Indonesia sendiri, energi tak terbarukan masih menguasai bauran energi nasional. 

Padahal, jika pemerintah tidak segera melakukan perubahan dan pembaruan, Indonesia dapat terjebak ketergantungan dan bencana iklim di masa yang akan datang. 

Lalu, mengapa tak segera lakukan transisi?

Paper ini akan membahas isu ketergantungan negara dan masyarakat Indonesia terhadap bahan bakar fosil, ancaman carbon lock-in, beserta sejumlah solusi yang mesti segera dilakukan.

Ketergantungan Indonesia terhadap Bahan Bakar Fosil

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia saat ini belum mampu lepas dari bahan bakar fosil. Minyak bumi dan produk turunannya adalah salah satu yang kini tengah menjadi isu krusial, tentu, karena pemanfaatannya pada berbagai sektor kehidupan negara, mulai dari transportasi hingga energi. 

Kenaikan harga BBM pada September 2022 dan demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan betapa krusialnya komoditas ini, terlebih karena kenaikan tersebut memicu naiknya harga sembako dan biaya hidup lainnya.

Selain itu, batu bara masih menjadi sumber energi utama, yaitu 66,1% dari total bauran energi nasional tahun 2022 menurut data dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN. 

Angka ini nampaknya belum dapat turun secara signifikan, melihat jumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang masih aktif beroperasi dan masih belum dimanfaatkannya potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia. 

Meski telah sampaikan akan berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emission dalam COP26 dan melarang pembangunan PLTU baru, nyatanya, pemerintah masih memperbolehkan pembangunan PLTU baru apabila memenuhi sejumlah persyaratan. 

Salah satunya terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam Proyek Strategis Nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan/atau pertumbuhan ekonomi nasional. 

Dengan begitu banyaknya Proyek Strategis Nasional termasuk di antaranya pembangunan Kilang Minyak Bontang dan Ekspansi Kilang Minyak Tuban, pembatasan pembangunan PLTU baru tidaklah sepenuhnya efektif menekan ketergantungan Indonesia terhadap batu bara di tengah desakan transisi menuju EBT.

Lantas, apa yang membuat masyarakat Indonesia masih tak dapat lepas dari bahan bakar fosil?

Ada sejumlah faktor fundamental yang mendorong ketergantungan ini dan salah satunya yaitu tata kelola ruang di Indonesia yang secara umum memaksa masyarakat melakukan mobilisasi yang tinggi. 

Fasilitas publik, terutama di sektor kesehatan dan ekonomi, yang belum memadai di tingkat RT/RW mengharuskan orang bepergian jauh dan secara tidak langsung meningkatkan kebutuhan mereka terhadap bahan bakar untuk alat transportasi yang digunakannya. 

Transportasi umum yang dikelola pemerintah pun belum menjadi pilihan utama karena efektivitasnya yang masih kalah dari transportasi pribadi dan online, sehingga, menurut Widayanti et al (2014), diperlukan perbaikan pelayanan dan integrasi dengan fasilitas vital lainnya agar transportasi umum dimanfaatkan secara maksimal. 

Selain itu, Indonesia yang saat ini memiliki energy trilemma (energy security, energy equity, enviromental sustainability) semakin menegaskan perlunya tata kelola ruang yang disesuaikan dengan realita iklim.

Indonesia dituntut memenuhi kebutuhan energi dan pada saat bersamaan juga harus menurunkan emisi serta mempunyai kedaulatan energi.

Dalam keadaan ini, menurut Guru Besar Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pembangunan Kebijakan (SAPPK) Prof. Ir. Djoko Santoso Abi Suroso, Ph.D dalam webinar berjudul "Dermaga'90 (Diskusi Bersama GEA ITB) pada September 2022 mengatakan, "Pemerintah harus mampu menerapkan kebijakan penggunaan energi terbarukan dan efisiensi energi, jangan sampai kita didikte dengan kepentingan asing yang membuat kita terjebak dalam permasalahan keuangan".

Faktor lain yaitu besarnya jumlah tenaga kerja yang terserap pada industri bahan bakar fosil.

Menurut data yang dirilis dalam Booklet Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020, industri batu bara menyediakan lapangan pekerjaan bagi 150.000 tenaga kerja pada tahun 2019, yang 0,1% dari angka tersebut adalah tenaga kerja asing.

Maka, selama pemerintah belum mampu mengimbangi penyediaan lapangan pekerjaan pengganti, transisi EBT akan selalu dibayang-bayangi oleh PHK, peningkatan angka pengangguran, dan kemiskinan.

Selanjutnya, dalam konteks pemanfaatan teknologi sehari-hari, alat berbasis listrik dan baterai masih dianggap mahal, baik dari segi biaya maupun infrastruktur pendukung. 

Misalnya, penggunaan Battery Electric Vehicle (BEV atau kendaraan bertenaga baterai listrik) yang masih belum dapat menggantikan kendaraan berbahan bahan minyak. 

Dalam kajiannya, Zahara (2022) menyebut bahwa terdapat sejumlah hambatan dalam penggunaan dan pengembangan BEV, yaitu biaya produksi yang mahal, harga jual yang tinggi, pengembangan teknologi yang terhitung jarang di Indonesia, fasilitas pengisian daya yang masih jarang, dan daya beli masyarakat yang rendah. Juga edukasi yang kurang merata dan teknologi yang dianggap belum sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat. Semua ini mengakibatkan BEV, juga teknologi hijau lainnya, eksklusif dan cukup sulit diakses oleh masyarakat umum.

Menuju Carbon Lock-in

Tingginya ketergantungan Indonesia terhadap batu bara yang tidak didampingi dengan percepatan pembangunan pembangkit listrik EBT, mempersulit Indonesia untuk bertransisi ke EBT. 

Hal ini karena kondisi tersebut memaksa pemerintah mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk menutup PLTU lama dan membangun pembangkit listrik EBT lebih banyak agar dapat mengimbangi jumlah produksi listrik yang telah dicapai sebelumnya. Bahkan, melansir dari Greenpeace Indonesia, kemungkinan dibutuhkan puluhan tahun untuk menutup PLTU tersebut. Kondisi ini dikenal dengan istilah Carbon Lock-in.

Sudah semestinya pemerintah tidak hanya memaksimalkan sumber daya tak terbarukan serupa minyak bumi dan batu bara. Perlu dilakukan pengembangan dan sosialisasi menyeluruh untuk mencapai target EBT Indonesia dan turut serta menekan emisi karbon nasional. 

Dalam hal ini, selain pembaruan teknologi hijau untuk konsumen, sumber energi tak terbarukan di hulu pun harus ditekan agar tidak memunculkan masalah baru di kemudian hari.

Permasalahan Struktural dan Solusi dari Akar

Desakan organik (ancaman perubahan iklim, habisnya sumber energi tak terbarukan, kerusakan, dan bencana alam) dan desakan anorganik (COP26 dan kebijakan pemerintah dan internasional lainnya) sudah semestinya pemerintah melakukan perubahan mendasar, sebab isu energi merupakan isu struktural yang tidak bisa diselesaikan hanya dari sisi masyarakat. 

Pengembangan teknologi EBT dan transisi bertahap menjadi solusi utama menekan ketergantungan masyarakat dan negara Indonesia terhadap bahan bakar fosil.

Penganggaran negara untuk sektor ini haruslah diprioritaskan untuk mendukung percepatan transisi. Lalu, penerapan pajak karbon atau carbon tax harus segera diberlakukan untuk mendorong pengurangan emisi perusahaan dan produk yang dihasilkannya. 

Terakhir, sosialisasi dan edukasi perihal pentingnya teknologi hijau dan transisi energi harus dilakukan secara menyeluruh. Dengan demikian, inovasi yang tersedia dapat diakses dan dimanfaatkan oleh semua lapisan masyarakat.

***

Daftar Pustaka

Kementerian ESDM RI - Booklet. (n.d.). Retrieved from https://www.esdm.go.id/en/booklet/booklet-tambang-batubara-2020

Listrik untuk Kehidupan yang Lebih Baik. PT PLN (Persero). (n.d.). Retrieved from https://web.pln.co.id/

Nailufar, N. N. (2022, February 15). Daftar Proyek Strategis Nasional 2020-2024. KOMPAS.com. Retrieved from https://nasional.kompas.com/read/2022/02/16/04000021/daftar-proyek-strategis-nasional-2020-2024

Santia, T. (2022, September 24). PLTU Masih Boleh Dibangun, Ini Sederet Syaratnya. liputan6.com. Retrieved from https://www.liputan6.com/bisnis/read/5079178/pltu-masih-boleh-dibangun-ini-sederet-syaratnya

Webmaster Team, D. S. dan T. I. I. T. B. (n.d.). Diskusi Pentingnya Tata Kelola Ruang Atasi Energy Trilemma Indonesia -. Institut Teknologi Bandung. Retrieved from https://www.itb.ac.id/news/read/58952/home/diskusi-pentingnya-tata-kelola-ruang-atasi-energy-trilemma-indonesia

Widayanti, A., ., S., & Karunia, B. (n.d.). PERMASALAHAN DAN PENGEMBANGAN ANGKUTAN UMUM DI KOTA SURABAYA. Jurnal Transportasi. Retrieved from https://journal.unpar.ac.id/index.php/journaltransportasi/article/view/1374

Zahara, L, A. (2022, Mei). Hambatan dan Tantangan dalam Pengembangan Battery Electric Vehicle Indonesia. BULETIN APBN, VII (9), 3-6.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun