Selanjutnya, dalam konteks pemanfaatan teknologi sehari-hari, alat berbasis listrik dan baterai masih dianggap mahal, baik dari segi biaya maupun infrastruktur pendukung.Â
Misalnya, penggunaan Battery Electric Vehicle (BEV atau kendaraan bertenaga baterai listrik) yang masih belum dapat menggantikan kendaraan berbahan bahan minyak.Â
Dalam kajiannya, Zahara (2022) menyebut bahwa terdapat sejumlah hambatan dalam penggunaan dan pengembangan BEV, yaitu biaya produksi yang mahal, harga jual yang tinggi, pengembangan teknologi yang terhitung jarang di Indonesia, fasilitas pengisian daya yang masih jarang, dan daya beli masyarakat yang rendah. Juga edukasi yang kurang merata dan teknologi yang dianggap belum sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat. Semua ini mengakibatkan BEV, juga teknologi hijau lainnya, eksklusif dan cukup sulit diakses oleh masyarakat umum.
Menuju Carbon Lock-in
Tingginya ketergantungan Indonesia terhadap batu bara yang tidak didampingi dengan percepatan pembangunan pembangkit listrik EBT, mempersulit Indonesia untuk bertransisi ke EBT.Â
Hal ini karena kondisi tersebut memaksa pemerintah mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk menutup PLTU lama dan membangun pembangkit listrik EBT lebih banyak agar dapat mengimbangi jumlah produksi listrik yang telah dicapai sebelumnya. Bahkan, melansir dari Greenpeace Indonesia, kemungkinan dibutuhkan puluhan tahun untuk menutup PLTU tersebut. Kondisi ini dikenal dengan istilah Carbon Lock-in.
Sudah semestinya pemerintah tidak hanya memaksimalkan sumber daya tak terbarukan serupa minyak bumi dan batu bara. Perlu dilakukan pengembangan dan sosialisasi menyeluruh untuk mencapai target EBT Indonesia dan turut serta menekan emisi karbon nasional.Â
Dalam hal ini, selain pembaruan teknologi hijau untuk konsumen, sumber energi tak terbarukan di hulu pun harus ditekan agar tidak memunculkan masalah baru di kemudian hari.
Permasalahan Struktural dan Solusi dari Akar
Desakan organik (ancaman perubahan iklim, habisnya sumber energi tak terbarukan, kerusakan, dan bencana alam) dan desakan anorganik (COP26 dan kebijakan pemerintah dan internasional lainnya) sudah semestinya pemerintah melakukan perubahan mendasar, sebab isu energi merupakan isu struktural yang tidak bisa diselesaikan hanya dari sisi masyarakat.Â
Pengembangan teknologi EBT dan transisi bertahap menjadi solusi utama menekan ketergantungan masyarakat dan negara Indonesia terhadap bahan bakar fosil.
Penganggaran negara untuk sektor ini haruslah diprioritaskan untuk mendukung percepatan transisi. Lalu, penerapan pajak karbon atau carbon tax harus segera diberlakukan untuk mendorong pengurangan emisi perusahaan dan produk yang dihasilkannya.Â
Terakhir, sosialisasi dan edukasi perihal pentingnya teknologi hijau dan transisi energi harus dilakukan secara menyeluruh. Dengan demikian, inovasi yang tersedia dapat diakses dan dimanfaatkan oleh semua lapisan masyarakat.