Seorang perempuan bersenandung di balik bangunan setengah mangkrak. Ia menyanyikan lagu berbahasa Jawa dengan suara setengah serak. Sesekali matanya mengintip di sela-sela kayu yang dipaku menutupi jendela. “Koe neng kono?” (Kamu di sana?) tanyanya kepada siapapun orang yang melewati rumah itu. Perempuan itu cukup menghibur, tingkah absurdnya seringkali mengundang gelak tawa, seperti saat ia mengomentari pedagang sayur yang keranjangnya miring sebelah, memanggil seorang kuli bangunan untuk membantunya mengubur kotorannya, sampai mengumandangkan takbir hari raya padahal belum saatnya.
Perempuan itu anak dari seorang sesepuh desa yang paling dihormati di desa itu, namanya Leni Gendhis. Konon ia mulai mengalami gangguan mental setelah pernikahannya batal akibat tidak direstui oleh Ibunya. Ayahnya mengizinkannya, namun Ibunya melarangnya habis-habisan. Leni Gendhis yang terkenal begitu ramah, cerdas, dan cantik, lantas menjadi perempuan yang menggali tanah untuk mengubur kotorannya sendiri karena ia dikurung dalam rumah tanpa tempat sanitasi.
“Sopo? Nggoleki sopo, Cah Ayu?” (Siapa? Nyari siapa, Anak Cantik?) Tanya Bu Sri, pedagang sayur langganan Ibuku, sembari ia memasukkan cabai dan bawang merah pesanan pelanggannya.
Leni Gendhis yang sebelumnya bertanya dengan nada ceria tiba-tiba berubah parau. “Bojoku… bojoku ilang mergo Mbah Jumi asu.” (Suamiku… suamiku hilang karena Mbah Jumi anjing) Mbah Jumi adalah nama Ibu yang mengurungnya di tempat itu. Leni Gendhis memang tidak dipasung, tapi ia telah menghabiskan sembilan tahun di sana.
Ibu memberiku roti yang ia ambil dari keranjang sayur Bu Sri. “Aku mau, Cah Ayu.” Katanya setelah aku membuka roti yang Ibu berikan. Ibu memberiku roti lagi, kemudian kakiku yang kecil saat itu berjalan pelan mendekati jendela yang ditutupi kayu-kayu.
Aku memasukkan roti itu ke sela kayu, Leni Gendhis mengambilnya lembut, diringi mulut yang setengah menganga. “Nuwun, Cah Ayu!” (Terima kasih, Anak Cantik!) Serunya menyambut roti yang aku berikan.
“Rasa cokelat.” Kataku menjelaskan rasanya.
Leni Gendhis tidak menghiraukan perkataanku. Ia langsung menarik diri menjauhi jendela dan duduk di atas lantai tanah yang tidak beralaskan apa-apa. Aku mengintipnya menikmati roti yang sebelumnya aku berikan. Dia tidak minum? Itulah pertanyaan yang sekilas mampir di kepalaku.
Aku kembali menghampiri Ibu. “Dia tidak minum?” tanyaku kepada Ibu, yang secara tidak langsung memintanya untuk membelikan minum.
Ibu memberiku satu botol air mineral. Aku meminta satu kotak cokelat dari Bu Sri. Kubawa keduanya dan kumasukkan ke sela-sela kayu yang sebelumnya, ah, ternyata tidak muat! Aku mencari sela kayu yang lebih besar seukuran botol air mineral. “Aku ada minum. Nanti diminum, ya!” seruku dengan mendekatkan mulut ke lubang jendela supaya bisa didengarnya. Tapi, negatif. Dia sangat fokus kepada pekerjaannya sendiri.
Sejak itu, aku mulai sering memperhatikannya tiap kali melewati rumah itu. Entahlah, aku hanya merasa dia tidak seperti yang orang-orang bicarakan. Dia cukup cakap dan mengerti pembicaraan orang lain. Hanya saja, dia butuh banyak waktu sendiri untuk membicarakan dunia ini dengan dirinya.