Mohon tunggu...
Katak kecil
Katak kecil Mohon Tunggu... Mahasiswa - di emper pondok ar-Rohman

Keringkan rumput selagi mentari bersinar.(***)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku: Sejarah Tafsir Al Qur'an di Tatar Sunda (Penulis: Jajang A. Rohmana)

31 Mei 2021   09:31 Diperbarui: 5 Juni 2021   09:11 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Berangkat dari keniscayaan Haji Hasan Mustapa (1852-1930) bahwa menyundakan Al-Qur’an menjadi jalan pencerahan spiritual yang lebih mengena ke hati (keuna kana haté), membawa kepada fenomena konkret bagaimana studi Al-Qur’an di Nusantara selama ini memang masih berkembang pada beberapa ranah tafsir tertentu. Perkembangan kajian-kajian tafsir yang dominan saat ini yakni tafsir Melayu-Indonesia dan tafsir Timur Tengah. Pada dasarnya, keberadaan lingua franca (bahasa pengantar kawasan) yang melekat pada tafsir Melayu-Indonesia memberikan pengaruh cukup signifikan terhadap perluasan kajian tafsir di Nusantara. Tafsir Melayu-Indonesia yang mendominasi para pengkaji tafsir di Nusantara, membuat eksistensi tafsir-tafsir lokal tergeser dari sisi teoritis maupun praktis dalam kehidupan sosio-keagamaan masyarakat. Hal tersebut dapat diketahui melalui respon para sarjana ilmu tafsir yang cenderung fokus pada kajian tafsir Melayu-Indonesia maupun tafsir-tafsir modern, dan mengelak dari kajian tafsir lokal seperti tafsir berbahasa Jawa, Bugis, Sunda dan lainnya,

            Misi kajian dalam buku tersebut sebenarnya adalah ingin membahasalokakan orientasi budaya keagamaan di Tatar Sunda yang berinteraksi dengan Al-Qur’an. Di samping itu, adanya keragaman karakteristik dan motif kepentingan masing-masing individu di masyarakat Tatar Sunda tentunya menyimpan latar belakang yang luas untuk ditransmisikan ke dalam karya tafsir. Dari situlah, harapan besar karya-karya tafsir Sunda akan mampu mewujudkan kukuhnya kearifan budaya Islam khususnya di Tatar Sunda. Kajian tafsir Sunda dalam buku tersebut menggunakan beberapa pendekatan dalam penggalian data-datanya. Di antaranya pendekatan sejarah intelektual tafsir, melalui telaah secara naratif dan deskriptif. Dengan menggunakan analisis wacana kritis terhadap mekanisme teks tafsir Sunda, pesan ideologi dan sosio-keagamaan dalam isyarat bahasa penafsiran akan dapat diungkapkan. Adapun sumber data yang dipakai adalah data primer yakni tafsir-tafsir Sunda yang sudah teridentifikasi dan berhasil ditemukan (ada 7 tafsir yang digunakan). Data sekunder, dari beberapa karya terjemah Al-Qur’an berbahasa Sunda, karya tafsir hasil terjemah yang awalnya berbahasa Sunda, terjemah Sunda, buku-buku keIslaman berbahasa Sunda, bahkan juga menggali dari karya tafsir klasik maupun modern dan sebagainya. Selain itu, juga mengunjungi beberapa informan seperti mufassir, keluarga mufassir, dan tokoh-tokoh lain yang terkait. Maka keseluruhan kajian tafsir Sunda dalam buku tersebut adalah riset kepustakaan. Wawancara sistematis dilakukan kepada para informan, membedah pemikiran dan isu etis terkait secara subjektif, serta menggunakan analisis data yang interaktif.

            Vernakularisasi menjadi istilah penulis sebagai sudut pandang penulisan kajian tafsir Sunda dalam buku tersebut, tidak lain adalah sebagai upaya untuk melacak rekonstruksi tafsir lokal yang tergeser dan luput dari sejarah tafsir di Nusantara. Distrik tafsir Sunda menjadi bagian dari eksplorasi dan apresiasi tradisi keilmuwan Nusantara yang menguat pasca runtuhnya Kerajaan Sunda. Hal tersebut ditandai dengan tersimpannya manuskrip Al-Qur’an dan terjemah aksara pégon yang telah disalin pada abad ke-18. Namun, mulai abad ke-20 pemerhati tafsir di Nusantara termasuk sarjana-sarjana ilmu tafsir relatif sedikit dalam mengkaji tafsir-tafsir lokal. Menurut mereka, tafsir lokal memiliki ranah yang sama layaknya tafsir berbahasa Indonesia maupun tafsir Melayu-Indonesia. Selain itu menurut perspektif penulis bahwa para sarjana ilmu tafsir memiliki ketertarikan yang masih minim terhadap kebudayaan dan mistik lokal. Namun di samping kondisi tersebut, dapat terlihat bagaimana publikasi karya Al-Qur’an berbasis budaya Sunda (terjemah Sunda, tafsir Sunda, dan karya lain) justru semakin banyak. Jumlah karya tersebut disebutkan dalam buku, ada lebih dari 30 karya di mana setengahnya berupa tafsir Sunda.

            Tafsir Sunda tumbuh berkaitan dengan interaksi peradaban keilmuan di Nusantara. Tumbuh dan berkembangnya tafsir Sunda menjadi bagian dari tinjauan nilai-nilai tradisi keagamaan masyarakat Sunda dalam mengasosiasikan dengan Al-Qur’an. Tidak sebatas itu, sisi kemenarikan dalam pluralitas tafsir Sunda ini berada pada ekspresi lokalitas latar masing-masing penulisnya yang lahir dalam kepentingan ideologi tertentu. Haji Hasan Mustapa misalnya, salah satu mistikus bersama R.A.A. Wiranatakoesoema dan beberapa ajengan; ulama di Tatar Sunda begitu memperhatikan eksistensi tafsir Sunda dengan karya-karya mereka. Seperti halnya, Qur’anul ‘Adhimi digagas Haji Hasan Mustapa, memiliki kecenderungan pada sufistik dan tasawuf yang biasa direpresentasikannya dalam puisi dangding. KH. Ahmad Sanusi dalam Malja’ al-Talibin dan Raudat al-Irfan yang memuat kepentingan otoritas terhadap ideologi Islam tradisional dengan akidah Ahlu as-Sunnah wa al-Jamaah. Nurul-Bajan dan AlKitabul Mubin karya Mhd. Mubin, keduanya cenderung pada tafsir standar berbahasa Indonesia, sebagai bagian dari utilitas golongan modern. Tafsir Depag RI -tim Pemprov. Kanwil Depag Jawa Barat- berhasil menyelesaikan tafsir Al-Qur’an berbahasa Sunda sebagai luapan atas adanya jejak kebijakan politik keagamaan di era Orde Baru, dan karya aktivis Muhammadiyah, Moh. E Hasin berbahasa Sunda lancaran atau disebut sebagai Ayat Suci Lenyepaneum. Tidak lain. Ayat Suci Lenyepaneum sama ekspresifnya dengan Nurul-Bajan yang mengarah pada kepentingan Islam modernis.

            Aspek pluralitas tafsir Sunda tentunya dipengaruhi pula pada metode yang digunakan dalam penyusunannya. Pendekatan yang mendominasi adalah ra’yi (pemikiran) secara ideologis baik terhadap kepentingan tradisional maupun modern. Pendekatan ra’yi yang tentunya didasarkan pada kesadaran bahwa Al-Qur’an dalam konteks bahasa sepenuhnya tidak bisa lepas dari wilayah budaya dan sejarah (di samping budaya itu sendiri menjadi bagian dari budaya manusia). Lebih khusus lagi, tafsir-tafsir Sunda cenderung memakai pendekatan tahlili (analitis) yakni menafsirkan secara detail keseluruhan ayat menurut tertib mushaf dan pendekatan ijmali yakni secara global namun ringkas. Sebagaimana pendekatan antara Haji Hasan Mustapa, KH. Ahmad Sanusi, Moh. E. Hasin, dan mufassir lainnya tentu berbeda-beda. Haji Hasan Mustapa cenderung pada pendekatan isyari sebab terkandung pemikiran sufistiknya. KH. Ahmad Sanusi yang cenderung ke ranah fiqhi, sedangkan golongan modernis mengarah pada pendekatan hida’i atau adab al-ijtima’i. Di ma na keutuhan tafsir Sunda dipengaruhi faktor perkembangan pemikiran modern di samping juga menerapkan keyakinan Ahlu as-Sunnah wa al-Jamaah; Sunni

            Inklusifnya substansi tafsir Sunda dan pengkajiannya menjadi perwujudan eksistensi sejarah tafsir lokal dalam rangka melestarikan khazanah budaya Islam di Nusantara. Tentunya perlu melakukan langkah-langkah berkesinambungan, mulai dari penguatan pembelajaran ilmu tafsir di instansi-instansi keIslaman secara dinamis dan otentik, menjaga kekayaan tradisi keIslaman di masyarakat, maupun melakukan pengarsipan sejarah sosio-keagamaan masyarakat Sunda baik maupun kajian Al-Qur’an di Tatar Sunda. Oleh karenanya, tafsir Sunda kemudian menjadi sarana penghayatan ajaran Al-Qur’an bagi masyarakat Sunda (meluasnya pengaruh Islam secara kontekstual). Dialektika antara budaya Tatar Sunda dan Al-Qur’an secara konstan dan komprehensif termaktub dalam karya-karya tafsir Sunda, akan menjadi restorasi budaya yang mampu mengentaskan kemaslahatan umat Muslim di Tatar Sunda.

            Buku yang ditulis oleh Jajang A Rohmana secara keseluruhan menceritakan perjalanan panjang sejarah tafsir al-Quran di tatar (tanah) sunda. Dengan ringkas beliau menuangkan menjadi sebuah karya. Akan tetapi, tetap dengan isi yang padat sesuai dengan kaidah ilmiah, yakni kaya akan daftar pustaka. Yang menunjukkan sebuah kekuasaan legalitas, bahwa hal tersebut benar-benar sebuah orisinalitas fakta mengenai perjalanan panjang tafsir di Tatar Sunda.

            Jajang memulai dengan sebuah pernyataan “dengan meluasnya rasa ingin tahu akan isi dari al-Quran oleh umat Islam di nusantara, khususnya di Tatar Sunda, mengakibatkan salah satu dampaknya ialah terbitnya tafsir mengenai al-Quran itu sendiri, sebagai sebuah teks yang tertulis.”  Menunjukkan bahwa tafsir di Tatar Sunda, telah mulai muncul dengan seiringnya semakin kuatnya pengaruh Islam di daerah tersebut. Sehingga seiring berjalannya waktu, di sana sudah banyak karya yang ber-orientasi kepada tafsir al-Quran. Namun dikatakan tidak semua dapat bertahan dan terdokumentasikan. Hal ini kiranya dapat menjadi evaluasi terhadap penelitian sejarah tafsir di Tatar Sunda. Yakni dengan menambah sedikit waktu lagi, dengan harapan mampu untuk lebih menemukan tafsir yang belum terdokumentasi tersebut.

            Dalam penjelasan selanjutnya, Jajang mengemukakan beberapa penulis tafsir di Tatar Sunda. Yang dimungkinkan itu merupakan para penulis tafsir yang dominan dalam mengemukakan pengaruhnya di Tatar Sunda. Seperti yang dijelaskan diatas jika masih banyak karya tafsir yang masih belum terdokumentasikan. Bisa jadi karya tersebut memilliki keunikan dari pada karya tafsir lainnya. Dalam penjelasan metodologi penyusunan tafsir di Tatar Sunda. Beliau mengemukakan dengan menyebutkan karya dan penulis tafsir sebagai contoh langsung. Hal tersebut baik sekali, karena dapat langsung menjadi visualisasi akan karya-karya tafsir yang terdokumenasikan tersebut. Akan tetapi, beliau kurang menambahi arti dari kalimat yang berbahasa sunda tersebut. Sehingga hal tersebut mempersulit dalam pemahaman para akademisi sejarah, maupun tafsir yang sedang menelaah berbagai pernyataan tersebut.

Menjadi nilai tersendiri dalam penelitian Jajang ini ialah terdapat wawancara eksplisit dengan para pemuka tafsir, untuk menambah khazanah menenai pemahaman tafsir di Tatar Sunda. Dengan ungkapan wawancara yang begitu lengket dengan budaya sunda. Yang mengharapkan akan munculnya sebuah tafsir yang lebih ramah terhadap Tatar Sunda untuk kedepannya lagi. Sehingga dapat menjadi tambahan sumbangan karya tafsir lokal yang lebih bersahabat dengan lingkungan sekitar. Kiranya tafsir tersebut lebih menyatu dan sesuai dengan keadaan sekitar. Begitulah kiranya harapan dari tafsir masa kini (kontemporer).

             Berpapasan dengan era kontemporer itulah, tentunya kajian tafsir Sunda pada buku tersebut memberikan gebrakan bahwa menjaga kearifan wacana lokal menjadi bagian dari sumbangsih terhadap sejarah ilmu pengetahuan di Nusantara terutamanya ilmu tafsir. Pembahasan yang ditulis secara sistematis, mulai dari sejarah tafsir di Nusantara yang kemudian berkembang pada Tatar Sunda, sehingga menjadi tafsir lokal. Penyebutan para penulis tafsir Sunda dengan karya-karya mereka memberikan analisis kritis bagaimana tiap-tiap penulis tentu menggunakan pendekatan dan kepentingan ideologi yang khas dan berbeda-beda sesuai ekspresi pluralitas yang ingin disampaikannya. Kajian tafsir Sunda dalam buku tersebut memberikan kesan pengarusutamaan kesadaran untuk terus merangkul dan memberadakan budaya lokal di Nusantara. Adapun misi lainnya adalah memberikan aspek pentingnya membangun pluralitas dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat, terlebih di era saat ini dengan banyak kontra sehingga sering memuntahkan konflik. Hal tersebut tentunya menjadi informasi aktual yang sangat krusial terhadap perkembangan kajian tafsir Sunda bahkan tafsir-tafsir lokal lain di waktu ke depan.Secara tidak langsung reviewer merasakan hikmah bagaimana pentingnya dedikasi generasi muda, termasuk sarjana-sarjana ilmu tafsir yang menentukan lestarinya wacana tafsir lokal di Nusantara. Bahkan bukan sebatas yang berada pada ranah tafsir, semua ilmu pengetahuan pun seharusnya juga mampu mengembangkannya. Mengembangkan dalam artian, bersedia mengkaji secara teoritis dan praktis ilmu-ilmu tersebut, melalui penggalian khazanah klasik yang kemudian mampu disandingkan dengan pemikiran modern saat ini. Maka itu, seharusnya tidak dengan mudah menghunjam pemikiran-pemikiran klasik; tradisional; atau yang berbau tradisi masyarakat lainnya dari kajian-kajian ilmu pengetahuan yang dilakukan. Sederhananya, peradaban memang sudah memperlihatkan efektifitas dan kompleksitas, namun bukan berarti wacana lokal harus tergeser. Di situlah menjadi tantangan terutamanya bagi para reviewer yang mayoritas bertempat tinggal di Tanah Jawa, untuk mampu merekonstruksi wacana budaya lokal Tanah Jawa seperti halnya kajian yang dikodifikasikan oleh Jajang A. Rohmana tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun