Siapa bilang orang tua selalu lebih dewasa daripada anak-anak?
Mungkin mindset seperti itu perlu kita tinjau ulang kembali. Ya kita harus jujur mengakui bahwa ada masanya orang tua kita atau mungkin diri kita yang sudah menjadi orang tua bersikap layaknya anak-anak bahkan terkadang lebih kekanak-kanakan daripada anak-anak itu sendiri. Dalam kondisi seperti ini, tak jarang para orang tua tidak menyadari akan sikapnya yang seharusnya tidak demikian. Sikap seperti apa yang kekanak-kanakan itu?. Jawabannya adalah banyak dan relatif.
Mungkin apa yang saya tulis agak saklek, tapi inilah yang sering kali saya temukan dalam kehidupan sehari-hari, dilematis para orang tua. Contoh kecil, ketika musim mudik lebaran, tak jarang antara suami dan istri mendiskusikan akan kemana keluarganya mudik lebaran untuk tahun ini?. Permasalahan sering kali muncul ketika menentukan tujuan. Suami ingin ke tempat A, sedangkan istri ingin ke tempat B. Jika diperhatikan, penentuan tempat tujuan mudik adalah hal yang sederhana tapi kenapa para orang tua sering kali membuatnya menjadi rumit?. Di luar perkara jarak, waktu dan biaya, ada hal yang lebih essensial yang akan menentukan berhasil atau tidaknya proses diskusi mudik itu, dan hal essensial itu adalah ego.
Memang tidak bisa dipungkiri, setiap orang tentu memiliki keinginan dan harapan masing-masing yang mana itu semua sering kali tak bisa dipahami dan tak bisa diterima sepenuhnya oleh pihak lain, sekalipun itu adalah pasangan hidup kita. Tapi masalahnya tidak selesai pada perkara keinginan dan harapan. Ujian sesungguhnya adalah bagaimana para orang tua mengharmonisasikan berbagai keinginan dan harapan mereka dengan ego dan realita yang ada di hadapan. Jika tidak cerdas, maka tidak usah heran jika anak lagi-lagi menjadi sasaran. Sebagaimana contoh yang saya berikan di atas, saya melihat beberapa keluarga sampai ribut mempermasalahkan tempat tujuan mudik lebaran bahkan sampai terjadi "perang dingin" antara suami dan istri yang ujung-ujungnya siapa yang lebih kuat melobiying pasangan, maka ia yang menang, dan jika sudah seperti ini maka yang bingung adalah si anak.
Ya, para orang tua memang tak selalu dewasa. Disaat mereka menuntut ini dan itu pada diri pasangan satu sama lain atau kepada anak-anak dan tanpa sadar mengemas ini dan itu dengan bahasa yang tak cantik, maka pasangan terlebih anak akan meresponnya sebagai sebuah kewajiban. Hmm...padahal lagi, para orang tua harus mau belajar untuk melihat dan menerima batas kemampuan pasangan maupun anak. Keinginan dan harapan para orang tua sering kali melangit, sepertinya jarang para orang tua bisa menyampaikan keinginan dan harapan mereka terhadap anak-anaknya dengan bahasa yang membumi, padahal penyampaian atas sesuatu hal itu salah satunya dipengaruhi oleh bahasa dan cara para orang tua menyampaikan kepada anak. Saya ambil contoh, suatu ketika ada seorang anak yang hendak melanjutkan kuliah, dengan hati riang si anak menyampaikan hal itu kepada orang tuanya. Pada saat tengah berbincang-bincang, sang ayah bilang, "Nak, kamu boleh kuliah ke PTN manapun yang kamu mau, asalkan jurusan yang kamu ambil itu harus eksak ya, misalnya matematika atau kalaupun mau non eksak, ambil akuntansi atau ekonomi, jangan yang lain". Si anak diam, lalu sang ibu langsung menyahut, "Gak bisa yah, anak kita harus kuliah di PTN X. Nak, kamu harus masuk ke sana ya dan bebas mau ambil jurusan apapun juga, yang penting kamu masuk ke PTN X. Kalau gak masuk, tahun depan deh ikut tes lagi masuk ke sana". Si anak belum merespon tapi ayah dan ibunya sudah ribut mempermasalahkan kampus dan jurusan tempat si anak kuliah nanti hingga berakhir dengan "perang dingin".
Pola sikap orang tua yang demikian pada dasarnya membentuk mindset yang tidak sehat pada diri seorang anak. Apapun masalah yang menyulut ego para orang tua, meributkan atau bahkan mempertengkarkannya di depan anak bukanlah sebuah pilihan yang bijak. Keinginan dan harapan yang disampaikan dengan disertai kata "Jangan", "Harus", "Gak boleh" dan sejenisnya saja sudah begitu membebani diri dan pikiran anak, belum lagi jika ditambah dengan pertengkaran yang sebetulnya kurang essensial, itu akan semakin mempengaruhi psikologis anak. Seorang anak akan menghubungkan apa yang dilihat, didengar dan dirasakannya pada banyak hal, tidak sebatas kepada akar masalah awal yang membuat kedua orang tuanya ribut. Jika keadaan seperti ini dibiarkan dan tidak disadari oleh para orang tua, maka jangan salahkan anak jika ia kemudian akan belajar membentak, bersikap kasar, memaksakan kehendak, lebih cepat merespon dengan negatif segala sesuatu yang ia temui dalam hidupnya.
Hal ini seperti sepele, tapi sadarkah para orang tua bahwa apa yang ditunjukkan dan disampaikan kepada anak sehari-hari di rumah, itulah gambaran yang akan membentuk karakter seorang anak. Memang kondisi ini tidak berlaku secara mutlak, tapi jika kita mau jujur, maka kenyataan seperti itu yang akan kita lihat. Anak, usia berapapun ia, selalu bisa merasakan atmosfer yang berbeda tatkala orang tuanya tengah ribut atau "perang dingin". Anak kecil mungkin akan mudah dihibur dan dialihkan dari hal-hal demikian, tapi para orang tua tetap harus ingat bahwa alam bawah sadar mereka tetap aktif menyimpan apa yang dilihat, didengar dan dirasakannya pada saat suhu di rumah begitu memanas. Bagaimana dengan putra putri kita yang sudah tumbuh remaja dan usia "dewasa"?.
Biasanya bagi anak yang sudah tumbuh remaja terlebih menuju usia "dewasa", mereka sudah memiliki kontrol yang cukup mumpuni untuk mengimbangi eskalasi keributan rumah tangga ibu dan bapaknya. Tapi anak tetaplah anak, ia pun tetap merasakan dampak dari keteledoran orang tua yang sebentar-sebentar marah, sedikit-sedikit ribut, piring, gelas berseliweran di depan mata atau lebih parah, teriakan, jeritan, cacian dan makian begitu rajin mampir di telinga. Lagi, sedewasa apapun pola pikir dan usia anak, ia tetap akan merekam itu semua dengan baik. Bukan hal mudah bagi seorang anak untuk menekan ego dan emosinya tatkala melihat ayah dan ibunya bertengkar hebat. Lagi, lagi dan lagi, sedikit sekali orang tua yang menyadari efek ini, dan lebih jauh daripada itu semua, para orang tua sering kali terkesan tidak menerima jika anaknya mengingatkan ataupun menasehati. Jangankan dengan keras, dengan kelembutan pun sering kali posisi anak dinilai salah dan muncul lah kata-kata "Sok tahu", "Jangan ikut-ikutan urusan orang tua", "Diam aja !!!", "Jangan sok ikut campur", "Anak kecil tahu apa", "Jangan merasa paling benar", "Gak usah sok nasehati orang tua" dan kata-kata keras lainnya yang tanpa disadari itu semua merendahkan diri sang anak. Padahal Tuhan menciptakan seorang anak bukan sekedar untuk diam dan legowo dengan keributan yang diperbuat oleh ibu dan bapaknya.
Anak yang baik, anak yang sadar akan posisi dan perannya dalam keluarga, anak yang penuh kasih sayang tentu tahu, apa, bagaimana dan kapan ia harus mengingatkan orang tuanya. Tapi pertanyaannya, kenapa setiap kali seorang anak melakukan hal itu justru ia yang menjadi sasaran keributan dan kekesalan orang tua? dan kenapa orang tua lebih banyak tidak berusaha untuk mendengarkan dan merenungkan apa-apa yang disampaikan sang anak kepada dirinya?. Jika para orang tua berpikir bahwa diri mereka sudah banyak memakan asam garam kehidupan, maka ubahlah pola pikir itu. Banyak sedikitnya asam garam yang dienyam bukan jaminan peningkatan dan perbaikan atas kualitas manajemen diri tatkala seseorang menjadi seorang ayah atau seorang ibu. Apa salahnya jika kita sejenak saja mendengarkan apa yang disampaikan atau dirasakan oleh anak-anak kita atas diri kita?.
Belajar dan mempelajari tak dibatasi oleh usia atau oleh seberapa tinggi jenjang pendidikan seseorang atau oleh status ia seorang ayahkah, seorang ibukah atau seorang anakkah. Jika belajar dibatasi oleh hal-hal yang tidak essensial seperti itu, maka perbaikan yang utuh bisa jadi tidak pernah ada dalam diri setiap individu. Permasalahannya bukanlah siapa dan dari siapa kita belajar, tapi bagaimana cara kita belajar. Jadi para orang tua, mulai sekarang coba sejenak sisihkan waktu untuk kita belajar dari anak-anak kita dan dari siapapun.
Cek kembali, jika kita sudah enggan belajar dari banyak orang, termasuk dari anak kita sendiri, mungkinkah kita sudah lebih dari pantas dikatakan dewasa?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H