Tadi pagi saat saya mendarat di bandara Soekarno Hatta, ada seorang penumpang yang nampak emosi kepada salah seorang rekannya yang mengejek dia dengan sebutan “ndeso”. Hmmm…saya terkesima dengan kata “ndeso” tersebut.Kenapa..?? karena tiba-tiba saya jadi teringat saat saya pertama kali menginjakkan kaki di kota Leiden beberapa tahun yang lalu. Karena saya menyebut kota ini dengan kota “ndeso” yang unik.
Dulu sebelum saya datang ke Leiden, saya membayangkan Leiden adalah kota metropolitan yang ramai dan hiruk pikuk seperti halnya Singapura. Namun ternyata dugaan saya salah 100 persen. Begitu saya keluar dari bandara Schipol, saya terkaget-kaget dengan banyaknya jumlah sepeda yang berlalu lalang sedangkan jumlah mobil sendiri justru bisa dihitung dengan jari. Bandingkan dengan kota Jakarta yang jumlah mobilnya sudah jutaan hingga memacetkan seluruh jalan yang ada.
Yaa…kota ini memang surganya sepeda. Sontak…saat itu saya langsung bergumam, ternyata Leiden masih “ndeso” yaa..? Walaupun “ndeso”, tapi sungguh saya amat menikmati kota ini. Di kota ini pulalah saya belajar banyak hal yang tidak dapat saya temui di Jakarta. Bermukim di sana lebih dari 2 tahun memberikan saya suatu pelajaran yang amat berharga. Tidak saja dari perilaku masyarakaratnya yang memang sudah sangat disiplin namun humanis, tetapi juga memberikan pelajaran yang berharga pula bagaimana kita memandang kultur perbedaan dari keberagaman yang ada. Saya sangat terkagum-kagum pula dengan pemerintah setempat bagaimana mereka dapat mengelola kota kecil tersebut menjadi kota global namun tetap memiliki karakteristik yang unik.
Mahasiswa dari segala penjuru dunia ada di kampus Leiden, karena itulah Leiden menjadi kota global. 10 persen dari 18 ribu mahasiswa kampus Leiden berasal dari berbagai penjuru dunia yang menyatu dengan napas kehidupan kota Leiden dalam irama yang harmonis . Karena itulah, kota Leiden menjadi kota yang katanya paling toleran terhadap warga Non Belanda atau warga pendatang. Sebuah ciri khas sebagai kota global, dimana toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan menjadi prinsip utamanya
kota Leiden sangat ramah karena menyediakan jalur khusus untuk sepeda pada setiap ruas jalan. Di setiap kantor, kampus, ruang publik, stasiun, terminal, atau mall, disediakan tempat parkir memadai untuk sepeda. Commuter dari luar Leiden tidak perlu menggunakan mobil untuk mencapai kota tersebut. Mereka setiap hari mengayuh sepeda kemudian diparkir di stasiun, dan berganti kereta api menuju kota tujuan. Nyaman tidak stres dan lebih efisien. Para commuter sangat menikmati hal yang demikian ini karena kereta api sangat nyaman, terjangkau, dan tepat waktu serta banyak pilihan dengan frekuensi setiap 10 menit. Stasiun Sentral juga menyatu dengan terminal bus sehingga memberikan kemudahan dan pilihan bagi masyarakat pengguna. Saya pernah membayangkan, seandainya para commuter dari Bekasi,Tangerang dan Depok memiliki gaya hidup sehat seperti di sina, tentu udara yang bersih dan segar dengan mudah dapat kita temukan dan kita hirup di Jakarta.
Leiden, wilayah berpenduduk 118 ribu jiwa yang terletak di antara kota Amsterdam, Den Haag, dan Rotterdam, memperoleh predikat sebagai kota tahun 1266. Sesuai namanya, Leiden berasal dari kata ''leithon'' yang berarti berada pada jalur air. Kota ini dibelah oleh Sungai Rijn (Rhine) yang hulunya berpucuk di Swis melewati Jerman dan bermuara di Negeri Kincir Angin. Di ruas Kota Leiden bagian atas, sungai itu bercabang dua yang dikenal dengan Oud Rijn dan Neeuwe Rijn yang kemudian menyatu di pusat kota. Sungai utama dan dua cabangnya bertautan dengan sungai-sungai kecil yang berupa kanal. Pada musim panas, kanal-kanal itu dipergunakan sebagai wisata air, sedangkan di musim dingin, ketika salju turun, menjadi arena skating yang sangat menarik.
Sungai tampak bersih, selain sebagai objek wisata juga menjadi habitat yang nyaman bagi itik dan angsa.
Daya tarik Leiden, bukan hanya pada kondisinya yang bersih, rapi, ramah, dan aman tetapi juga kaya dengan bangunan-bangunan kuno yang masih dilestarikan. Dalam buku Newcomers in an Old City tulisan Joke Kardux dan Eduard van de Bilt (2007) disebutkan bahwa lanskap kota itu didominasi oleh semangat gereja, di antaranya adalah Pieterskerk (St Peter's) dan St Pancraskerk yang kemudian dikenal dengan nama Hooglanse Kerk. Bangunan kuno lainnya yang masih megah berdiri adalah Balai Kota. Terdapat benteng yang menyerupai kastil bernama Visburg atau de Burcht yang dibangun pada sekitar tahun 1050.
Sungguh unik. Kalau kota-kota besar dunia berlomba membangun pencakar langit sebagai landmark untuk melihat seantero kota misalnya Kuala Lumpur dengan Menara Kembar, Toronto dengan CN Tower, Boston dengan Hancock Tower, maka tidak demikian halnya dengan Leiden yang bangga dengan kastil yang tingginya hanya sepuluh meter di atas bukit. Dengan berdiri di atas kastil Burcht yang merupakan satu-satunya bangunan yang berdiri sebelum Leiden menjadi kota, 40 bangunan dan objek wisata penting ko¬ta itu terlihat jelas mulai dari gedung Balai Kota, Gereja Pieterkerk, St Pancras¬kerk, Museum Windmill, Morrspoort, Academy Building sampai Hortus Botanicus.
itulah kota Leiden…kota global yang modern namun tetap mempertahankan keaslian kotanya.
Source: pengalaman pribadi & referensi dari berbagai sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H