Aku menutup mulutku dengan telapak tanganku, saat melihat dua orang yang aku cintai terlihat tergeletak di atas lantai kamar mereka bersimbah darah. Seseorang berdiri membelakangiku dihadapan dua mayat dengan pisau di dalam genggaman tangannya. Pria itu masih mengenakan tuksedo hitamnya, berdiri tegak dan berbicara di depan mayat "Kalian hanya mempersulit keadaan, di mana kalian menyembunyikannya".Â
Saat pria itu beralih ke arah sudut kamar, aku terpaku di balik pintu karena melihat jelas wajah si pembunuh melalui celah pintu yang tidak tertutup rapat. Pelan-pelan aku mundur dari sana mengangkat ke dua sisi gaun putihku dan segera menuju kamarku di lantai dua. Mengunci rapat pintu kamarku yang terbuat dari kayu mahoni dan mengambil satu tas daruratku di bawah ranjang yang pernah mama siapkan untukku. Sebuah tas ransel hitam besar sudah berada di punggungku. Kemudian aku beralih ke depan sebuah lemari besar di pojok kamarku yang bernuansa gaya eropa.Â
Aku membuka lemari kosong itu dengan kunci khusus yang menjadi liontin kalungku dan segera mengunci rapat dari dalam, meninggalkan masa itu dengan sebuah keajaiban yang pernah diciptakan papaku. Aku kabur meninggalkan pria yang baru saja menikahiku dan membunuh ke dua orang tuaku dengan air mata mengalir deras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H