Beberapa hari yang lalu, saya ke kampus lagi. Iya, setelah berminggu-minggu nggak menghirup udara segar di bawah rimbunnya pepohonan yang menaungi fakultas saya itu, akhirnya saya ke sana lagi. Buat apa? Konsultasi KRS.
Sebelum sampai ke gedung fakultas, balik dulu deh ke rumah. Tempat dimana saya melihat KHS alias kartu hasil studi, dan ngeprint selembar KHS itu dalam kertas hvs f4 untuk ditunjukkan ke simbah, yang waktu itu menjadi satu-satunya orang di rumah, dan kemudian digilir ke ibu, setelah beliau sampai di rumah tentunya.
Rasanya sedih, kecewa, marah, semuanya campur aduk jadi satu. KHS itu mengkhianati sayaa L. Terjun bebas dari KHS semester lalu. Semua rasa campur aduk itu makin campur campur nggak karuan saat simbah yang setelah muter-muter rumah mencari kacamata bacanya, akhirnya berhasil juga membaca KHS saya itu. Ekspresinya cuma diam. Diam yang lama. Kali itu saya merasa bahwa menunggu dalam diam adalah sungguh sangat menyakitkan. Selanjutnya beliau hanya berpesan, agar lebih rajin dan lebih gigih berusaha.
Respon selanjutnya dari ibu saya, yang selalu begitu, adalah menanyakan “masih ada yang lebih jelek dari ini kan? Teman-temanmu?” saya ragu menjawabnya dengan sepatah kata “iya”, karena jika maksud ibu adalah yang nilainya 3,00 lantaran semua mapel bernilai b, karena nggak mungkin ada nilai c di fakultas kami, maka kecil kemungkinannya. Dan saat itu, hanya ada satu sosok a di KHS saya, yang menjadi milik mapel berharga 0,8 sks. Tanpa sesosok a itu, nilai saya akan benar-benar cuma 3.
Kembali ke gedung fakultas, singkat cerita setelah menunggu sang dosen beberapa jam lamanya, akhirnya saya dan seorang lagi teman saya, berhasil mendapatkan tanda tangan dosen tersebut di KRS kami berdua.
Mungkin mood sang dosen sedang baik hari itu, jadi kami dapat sedikit wejangan yang meskipun sedikit tetapi menohok keras hati saya.
“kamu berani memilih fakultas ini, dan sudah berhasil masuk mengalahkan ribuan teman kamu, maka harus berani menanggung resikonya. Sudah tahu sejak awal kan kalau nilai kamu selama disini harus bagus?”
Dalam hati saya bilang “tidak ada yang memberi tahu saya sebelumnya, bahwa kuliah harus punya nilai bagus” tetapi yang keluar dari mulut saya cuma sepatah “iya”
“kalau masih mahasiswa gini maunya enak saja, nanti kalau udah kerja, malah nggak enak. Kuliah masih bisa buka buku, kalau sudah kerja masih mau buka buku? Besok belajar lagi ya?”
Masih kurangkah jam begadang saya selama ini? Memang sih saya masih bisa tidur saat besoknya responsi anatomi, dan masih tega tidur pula saat besoknya ujian blok, di saat banyak teman saya mampu berkata dengan bangganya “aku nggak tidur semalam”.
Masih kurangkah agenda belajar saya? Masih kurangkah apa yang saya baca buat diskusi tutorial? Saya terkejut sendiri saat hati saya mengatakan “iya masih kurang”. Saya nggak rajin melatih skill saya setelah dapat pelajaran di skills lab. Saya nggak mempelajari lagi presentasi dosen sepulangnya dari ruang kuliah. Saya belum membaca semua penjelasan yang bisa saya dapat untuk diskusi. Saya hanya screening sekali, tidak membaca berkali-kali.
“tanyakan pada diri kamu sendiri, apakah kamu pantas dapat nilai segini?” Sang dosen membawa saya kembali ke alam nyata.
Dan, oh, pertanyaannya tepat sekalii. Dengan sakit hati saya jawab juga di dalam hati saya yang mulai berdarah itu “nampaknya memang begitu, dok. Itu nilai yang pantas buat saya. Usaha saya belum cukup banyak untuk layak mendapatkan nilai lebih”
Kemudian saya pulang dengan hati yang patah menjadi butiran-butiran debu.
Semoga janji saya untuk belajar lebih banyak di perjalanan pulang itu bisa benar-benar saya wujudkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H