Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Saya yakin kita semua percaya dengan statement tersebut. Kesepakatan itu kian tampak dari kebiasaan kita untuk membelikan mereka mainan. Setiap kali ada keramaian yang didominasi oleh anak-anak, maka tempat tersebut akan menjadi target bagi para pedagang untuk menjajakan aneka mainan anak. Bahkan lampu merah justru dimanfaatkan oleh segelintir pedagang asongan untuk menjajakan aneka mainan anak-anak, karena mereka percaya bahwa orang tua ketika melihat mainan pasti ingat anak-anaknya dan sebagai kado kecil tentu mainan yang dijajakan di jalanan bisa menjadi alternatif.
Ketika berkunjung ke rumah salah seorang sahabat, saya membawakan sebuah mainan sebagai hadiah untuk anaknya yang baru berusia 2 tahun. Saya memencet bel dan dengan segera sahabat saya membukakan pintu diikuti oleh sikecil yang berlari kecil di belakangnya. Saya segera memeluk Tommy, putra teman saya yang sangat lucu. Mainan yang sedari tadi sudah saya siapkan dan packing dengan sampul yang menawan itu pun segera saya serahkan kepada Tommy. Dia senang sekali. Nela, sahabat saya segera mengajak kami masuk menuju ruang keluarga.
Saya melihat Tommy akhirnya membuka kado yang saya berikan. Begitu kado terbuka, mainan yang ada di dalamnya segera diambilnya. Dia tersenyum senang. Lima menit kemudian mainan itu tidak lagi menarik minat Tommy. Mainan itu ditinggalkan dan dia segera beralih ke buku bacaan anak-anak yang ada di rak mainannya. Tommy membolak balik buku itu dari satu halaman ke halaman lain. Pada halaman tertentu, Tommy mendekati saya dan mengarahkan saya pada bukunya yang sedang terbuka. Tommy dengan semangatnya berkata, "Tante, ini Jepang". Kemudia Tommy segera membalik beberapa halaman dan kembali berteriak "Korea". Saya segera memperhatikan buku itu dan benar saja di buku itu ada tulisan "Korea". Spontan saya berkata "Tommy hebat euy". Buku itu ternyata buku anak-anak yang dicetak dengan kertas tebal dan menunjukkan beberapa nama negara yang ada di dunia. Buku itu berisi gambar yang mencerminkan ciri khas masing-masing negara yang nama negaranya tertera di setiap halaman buku. Judul bukunya "Keliling Dunia".
Tidak lama setelah itu Tommy kembali mendekati saya sambil menenteng sebuah buku panduan posyandu untuk ibu muda. Tommy mengajak saya untuk melihat buku itu. Dalam salah satu ilustrasi yang ada, Tommy menunjuk sebuah gambar dan berkata "Awas, jangan dekat-dekat, berbahaya". Perkataan Tommy memang belum fasih, tapi bisa dimengerti. Saya segera melihat gambar yang ditunjuk oleh Tommy, ternyata memang ada sebuah gambar anak kecil yang bermain di dekat sumur, kemudian ada tulisan "Awas, jangan dekat-dekat, berbahaya". Saya tertegun cukup lama. Saya berpikir Tommy sudah bisa membaca diusianya yang baru 2 tahun adalah sebuah prestasi luar biasa. Tommy berlalu dan sibuk dengan buku-bukunya.
Sayapun menanyakan kepada Nela, bagaimana caranya hingga Tommy yang masih begitu kecil sudah bisa membaca. Nela tersenyum dan mengklarifikasi bahwa Tommy belum bisa membaca. Nella kemudian menjelaskan bahwa Tommy baru bisa mengenal huruf dan angka. Meski begitu, Tommy mampu mengingat dengan cepat, sehingga kalau ada tulisan-tulisan pendek, Nela senantiasa membacakannya untuk Tommy sambil melihatkan langsung tulisan yang ada di buku kepada Tommy. Dengan begitu Tommy sangat senang dan pada kesempatan lain justru dia yang membacakan bacaan itu kepada Nela atau orang sekitarnya. Nela menjelaskan bahwa Tommy sejak kecil sudah dibiasakan bermain dengan buku. Mainan bukanlah sarana bermain utama baginya, melainkan hanya sebagai pelengkap saja. Makanya Tommy memiliki lebih banyak buku dari pada mainan.
Nela menyadari bahwa Tommy kecil belum mengerti dengan isi buku itu. Awalnya Tommy selalu meraih buku yang sedang di baca oleh Nela. Maka untuk mensiasatinya, Nela memberikannya majalah yang terdapat gambar orang atau anak kecil. Hal ini ternyata menarik perhatian Tommy. Bermula dari hal itu Nela mulai membelikan Tommy buku anak-anak atau majalah. Sesekali Tommy kecil tidak hanya membolak balik majalah atau buku yang ada, tapi dia juga merobek majalah atau buku. Nela tidak marah dan menasehati Tommy sambil tersenyum agar tidak berbuat demikian. Perlahan namun pasti Tommy tumbuh menjadi anak yang menyukai buku. Tommy juga sudah bisa menyebutkan angka satu hingga angka sepuluh diusia 1 tahun 4 bulan. Saking senangnya dengan buku, ketika Tommy di bawa ke Mall, dia justru lebih tertarik berkunjung ke stand buku dari pada stand mainan. Tommy junior akan lebih senang jika diberi kado berupa buku daripada mainan.
Belajar dari hal di atas, saya akhirnya memahami bahwa anak-anak sudah harus diarahkan sedari dini oleh orangtuanya. Membiasakan anak dengan bacaan ternyata justru mampu menumbuhkembangkan minat baca dan belajar anak dari kecil. Jadi, tidak selamanya mainan adalah satu-satunya saran untuk bermain bagi anak. Buku nyatanya mampu menjadi teman bermain sekaligus sarana untuk belajar bagi anak.
Saya memiliki seorang keponakan perempuan yang bernama Karin. Dan saya mencoba menumbuhkembangkan minat baca dan belajar Karin sejak dia bisa duduk. Dan ternyata metode yang digunakan oleh Nela terhadap Tommy mampu saya buktikan melalui Karin. Saat ini Karin berusia 1 tahun 8 bulan dan dia mampu menghafal kosa kata dengan lebih cepat bahkan menghafal kalimat-kalimat pendek yang ada di buku meski belum mampu membaca. Pengalaman ini memberi inspirasi bagi saya untuk berbagi kepada sahabat semua, agar menumbuhkembangkan minat baca anak sedari dini. Bahan bacaan tidak harus mahal, bahkan majalah bekas bisa dimanfaatkan. Anak-anak menyukai gambar, warna, dan ilustrasi sederhana. Ganti sarana bermain anak dari mainan menjadi buku. Dominasi ruangan kita dan anak dengan buku, bukan dengan mainan.
Mari dukung Indonesia untuk menjadi bangsa yang cerdas, bangsa pencipta, bukan bangsa pengkonsumsi, bukan bangsa pekerja.