Mohon tunggu...
Arina Manasikana
Arina Manasikana Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah IAIN Pekalongan

Laa Tahzan Innallaha Ma'ana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pekalongan: Pasar Kembang Cilik, Pasar Kembang Gedhe & Riyoyonan

6 Juli 2021   18:58 Diperbarui: 6 Juli 2021   21:51 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikutip dari website cintapekalongan.com. Sejarah berdirinya Kota Pekalongan tidak terlepas dari cerita perjalanan yang dilakukan oleh Bahurekso, dijelaskan bahwa Bahurekso mengawali mbabat (Bahasa Jawa: membuka jalan/ wilayah tertentu) dari Kendal, Alas Roban dan kemudian Alas Gambiran.

Sejarah lahirnya Kota Pekalongan menurut banyak cerita sejarah yang beredar baik  dari mulut ke mulut lewat sebuah acara pementasan budaya ataupun dari sebuah cerita yang ditulis, bahwa Bahurekso membuka Alas Gambiran dengan cara bertapa Ngalong.

Mulainya perjalanan babat yang dilakukan Bahurekso ini diawali dengan keberhasilan Ki Ageng Cempaluk menjadikan hutan Kendalsari sebagai Kadipaten Kendal.

Kemudian diteruskan oleh puteranya yang bernama Kyai Sundana atau Joko Bahu (Bahurekso Muda) yang pada tahun 1614 M mendapatkan kepercayaan dari Raja Mataran yang ke-3 yaitu Sultan Agung Hanyakrakusmo untuk memperluas kekuasaan Mataram di wilayah Pesisir Kilen.

Dengan membuka Alas Roban kemudian dilanjutkan membuka Alas Gambiran yang diperuntukan menjadi daerah penyuplai pangan (lumbung padi) bagi kerajaan Mataram, kemudian Alas Gambiran diresmikan menjadi Kadipaten Pekalongan pada tangal 12 Rabiul Awal 1042 H atau tanggal 25 Agustus 1622 M.

Penyebutan nama Pekalongan dengan nama Pengangsalan, menurut Raden Mas Aryo P Lelono (seorang Pengeran Mataram) yang datang ke wilayah Pekalongan sekitar tahun1865 menyebut bahwa nama Pekalongan menurupakan turunan dari kata "Along" yakni suatu kata yang dekat dengan dunia nelayan, dengan arti memperoleh hasil tangkapan ikan.

Seperti kata Pengangsalan yang hampir mirip dengan arti pendapatan. Kemudian berdasarkan kemudian DPRD Kota Besar Pekalongan pada 29 Januari 1957, nama Pekalongan berasal dari kata "A-PEK-HALONG-AN" yang berarti Pengangsalan atau Pendapatan (dari hasil laut)

Kota Pekalongan dapat dibilang sebagai salah satu daerah yang masih memegang erat tradisi/ adat-kebudayaan. Tradisi merupakan sebuah tindakan yang menyeluruh (tidak hanya dilakukan oleh satu atau dua orang saja) yang memiliki batasan waktu dan ruang serta bersifat turun-temurun.

Sedangkan adat-kebudayaan merupakan bagian hasil dari  sebuah tradisi atau dapat diartikan sebagai hasil, cipta, karsa dan rasa manusia yang menyeluruh dan diakui kebenaran serta keberadaanya.

Beberapa adat kebiasaan yang masih dilakukan oleh masyarakat Pekalongan adalah Riyoyonan. Riyoyonan merupakan sebuah pesta rakyat yang dilakukan setelah melaksanakan sholat Idul Fitri, biasanya diselenggarakan di musolah/ masjid. Bukan Kota Santri namanya jika sebuah kegiatan dilaksanakan tanpa melibatkan unsur keagamaan.

Riyoyonan merupakan sebuah agenda rutin setahun sekali yang dilaksanakan masyarakat Pekalongan. Pembacaan Yasin dan Tahlil menjadi pembuka acara riyoyonan kemudian dilanjutkan dengan pesta makan bersama oleh masyarakat yang mengikutinya. Makanan yang dihidangkan biasanya beraneka macam, karena setiap rumah biasanya membawa satu menu makanan untuk acara riyoyonan.

Dikumpulakn di dalam musolah/ masjid kemudian setelah pembacaan yasin dan tahlil makanan tersebut dihidangkan secara acak kepada masyarakat yang mengikutinya. Budaya riyoyonan tergolong budaya yang sangat sederhana, tetapi didalamnya mengandung nilai sosial yang sangat tinggi.

Sebuah momentum yang sangat dinanti, terlepas dari kesibukan pribadi yang menjerat kita untuk bersosialisasi, tumpah  dalam satu wadah keharmonisan tatanan masyarakat. Tidak memandang jabatan dan harta, yang kaya bisa saja merasakan hidangan makanan yang dibuat oleh si miskin, begitu juga sebaliknya yang miskin bisa merasakan hidangan makanan yang dibuat oleh si kaya. Jalinan temali yang awalnya rapuh oleh kesibukan dunia; hilang tergantikan oleh fitrah riyoyo.

Selain riyoyonan adat atau budaya yang masih dilakukan oleh masyarakat Pekalongan yaitu besik kuburan (Bahasa Jawa: Berkunjung). Besik kuburan biasa dilakukan oleh masyarakat Pekalongan dua hari sebelum Idul Fitri atau sering disebut oleh masyarakat Pekalongan dengan istilah Pasar Kembang Cilik dan Pasar Kembang Gedhe.

Sesuai dengan namanya pasar kembang cilik dan pasar kembang gedhe merupakan sebuah pasar dadakan yang mana hanya ada pedagang bungan melati, bungan mawar, bunga kantil, kemangi, minyak wangi serta papan nisan.

Masyarakat Pekalongan sebelum mereka besik/ berkunjung ke kuburan baik orang tua ataupun sanak saudara, mereka menyempatkan untuk membeli barang yang dibutuhkan di pasar kembang cilik ataupaun pasar kembang gedhe.

Penulis : Arina Manasikana, Mahasiswa Jurusan Hukum Ekonomi Syariah IAIN Pekalongan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun