Mohon tunggu...
Arina Manasikana
Arina Manasikana Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah IAIN Pekalongan

Laa Tahzan Innallaha Ma'ana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Jawa & Budaya Nyadran (Sedekah Laut) Di Wonokerto Kab. Pekalongan

21 Juni 2021   20:59 Diperbarui: 21 Juni 2021   22:20 1592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kompasiana.com/arinamanasikana8902

Sejarah Jawa Dan Budaya NYADRAN (Sedekah Laut) Di Wonokerto Kabupaten Pekalongan

Setiap daerah pasti memiliki identitas-identitas masing-masing yang menggambarkan ciri khas daerah tersebut. Seperti halnya Indonesia yang banyak memiliki pulau, provinsi, dan daerah sehingga banyak budaya yang tumbuh dan berkembang di daerah masing-masing. Salah satu ragam budaya yang masih dilestarikan sampai saat ini adalah budaya yang berkembang di masyarakat Jawa terutama Jawa Tengah yang masih banyak mengusung tema kebudayaan dalam berbagai hal. Sebenarnya budaya itu sendiri adalah peninggalan nenek moyang dari kerajaan-kerajaan yang banyak mengandung arti dan makna. Setiap budaya memiliki etik dan emiknya masing-masing. Etik mengacu pada temuan-temuan yang nampak konsisten atau terlihat di berbagai budaya dengan kata lain, sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda dengan demikian sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas budayanya (David, 2008).

Seseorang yang ingin mempelajari dan memahami Budaya Jawa ibarat memasuki hutan simbol yang rimbun. Di dalamnya penuh tantangan, keunikan dan sekaligus daya tarik yang menggoda. Sadar atau tidak, banyak falsafah dalam Budaya Jawa yang masih memiliki denyut aktualitas. Tidak semua falsafah Jawa usang, tetapi jika dilakukan reaktualisasi akan semakin ada kejelasan makna, hutan simbol rimbun yang penuh dengan isyarat semu yang antik, yang arsitetik, yang memiliki nilai estetik dan nilai etik tidak akan dapat ditangkap arti dan maknanya apabila tidak diungkap secara komprehensif, bahkan bisa jadi menyebabkan pemahaman yang sepotong-sepotong atau hanya tertangkap kulitnya saja (Irmawati, 2013).

Masyarakat Jawa kaya akan ungkapan-ungkapan dan simbolik-simbolik yang banyak terkandung pendidikan moral, mulai dari prilaku hingga tutur bahasa yang memiliki aturannya masing-masing. Salah satu alasan mengapa budaya masih bertahan sampai sekarang adalah karena adanya suatu kepercayaan. Kepercayaan merupakan paham yang bersifat dogmatis yang terjalin dalam adat istiadat hidup sehari-hari dari berbagai suku bangsa yang mempercayai apa saja yang dipercayai adat nenek moyang (Endraswara, 2003).

Sebelum memebahas lebih jauh mengenai Pekalongan sebagai salah satu ikon kota budaya di Pulau Jawa; “Jangan pernah kalian melupakan sejarah” ungkap salah satu tokoh ulama Pekalongan yang begitu tersohor baik nama ataupaun keilmuan beliau. Maulana Habib Lutfi bin Yahya.

Dari manakah Pulau Jawa itu berasal? Mengenai asal-usul Pulau Jawa, Suyono dari karya Van Hien, menyebutkan bahwa keterangan terbaik mengenai keadaan geologi Pulau Jawa dapat ditemukan dalam tulisan kuno Hindu yang menyatakan bahwa Jawa sebelumnya adalah pulau-pulau yang diberi nama Nusa Kendang yang menjadi bagian dari India. Pulau ini merupakan hamparan dari beberapa pulau yang kemudian bersatu karena letusan gunung-gunung berapi dan goyangan dasyat gempa bumi, terjadi sekitar tahun 296 sesudah Masehi.

Sebuah teori geologi kuno menyebutkan bahwa proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anakn Benua India ke utara yang bertabrakan dengan lempengan sebelah utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang mengakibatkan terbentukanya Gunung Himalaya. Konon proses tersebut terjadi pada 20-36 juta tahun silam. Anak benua yang diselatan sebagaian terendam oleh air laut, sehingga yang muncul dipermukaan adalah gugusan-gugusan pulau yang merupakan mata rantai gunung berapi. Gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara, sebagaian adalah Nuswantoro (Nusantara) yang pada zaman dahulu disebut Sweta Dwipa. Dari bagian daratan inilah salah satunya adalah anak gunung benua yang disebut jawata, yang satu potongan bagiannya adalah Pulau Jawa.

Adapun pemilihan nama Jawa masih menjadi perdebatan. Wikipedia menjelaskan bahwa asal mula nama Jawa tidak jelas. Salah satu kemungkinan adalah nama pulau tersebut berasa dari nama tanaman jawa-wut yang banyak ditemukan pada pulau ini pada masa purbakala. Sebelum masuknya pengaruh India pulau ini memiliki banyak nama. Ada pula dugaan nama tersebut berasal dari kata jau, yang berarti jauh.  Dalam bahasa Sanskerta, Yava berarti tanaman jelai, sebua tanaman yang membuat pulau ini terkenal.  Sementara itu Yawadvipa disebut dalam epik India Ramayana. Sugriwa, panglima wanara (manusia kera) dari Sri Rama, mengirimkan utusanya ke Yawadvipa (Pulau Jawa) untuk mencari Dewi Shinta. Kemudia berdasarkan kesustraan India, terutama pustaka Tamil, disebut dengan nama Sanskerta yavaka dvipa (dvipa = pulau). Dugaan lain adalah bahwa kata Jawa berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia, yang berarti rumah (Soedjipto Abimanya, Babad Tanah Jawa, 2014).

Empat wilayah budaya utama terdapat di pulau Jawa: sentral budaya Jawa (kejawen) di bagian tengah, budaya pesisir Jawa (pasisiran) di pantai utara, budaya Sunda (pasundan) di bagian barat, dan budaya Osing (Blambangan) di bagian timur. Budaya Madura terkadang dianggap yang kelima, karena hubungan eratnya dengan budaya pesisir Jawa.

Penulis akan berfokus pada budaya Jawa pesisiran; Pekalongan yang menjadi sorotan dunia karena merupakan salah satu kota di Jawa Tengan yang menjadi pusat pembuatan batik dengan corak khas pesisiran yang dalam segi warnanya lebih terang dibanding batik-batik lainnya yang dihasilkan oleh kota seperti Solo dan Cirebon.

Motif batik Pekalongan umumnya mengambil inspirasi dari flora dan fauna. Tapi sebagai wilayah pesisir, Pekalongan juga menjalin kontak dengan banyak pedagang dari beragam bangsa. Perjumpaan itu mewarnai motif dan tata warna batik Pekalongan. Budaya yang beragam diserap masyarakat sekitar dan dituangkan dalam goresan motif batik. Inilah sebabnya Pekalongan punya motif batik yang beragam dan luwes. Motif jlamprang yang menjadi ciri khas batik Pekalongan, misalnya, mendapat pengaruh dari India dan Arab. Batik encim dan klengenan dipengaruhi oleh peranakan Cina.

Akan tetapi dalam tulisan ini tidak akan membahas mengenai seluk-beluk batik yang ada di kota Pekalongan, melainkan salah satu budaya pesisiran yang masih dilestarikan dan senantiasa dijaga keberadaanya oleh masyarakat pesisir Pekalongan; Nyadran atau sedekah laut yang dilakukan oleh masyarakat Wonokerto Pekalongan.

Tradisi sedekah laut sebelumnya sering disebut sebagai nyadran laut yaitu membuang atau melarung sesaji ke tengah laut. Tradisi nyadran laut dilakukan rutin setiap tahun pada bulan Sura atau bulan pertama perhitungan Jawa.

Kemajemukan masyarakat yang semakin beragam turut andil dalam proses perkembangan tradisi budaya. Keyakinan beberapa masyarakat akan mitos sedikit demi sedikit mulai bergeser kearah pemikiran realitas. Sebagian masyarakat masih memegang teguh kepercayaan tentang mitos sedekah laut dengan keyakinan bahwa mitos dapat mempunyai peranan yang fundamental bagi kehidupan masyarakat. Sebagian masyarakat Wonokerto yang lain memaknai sedekah laut dengan pemikiran yang lebih fungsional dalam realitas kehidupan di bidang ekonomi, sosial, politik bahkan pendidikan. Masyarakat mulai menyadari bahwa tradisi sedekah laut mempunyai fungsi yang lebih luas lagi diluar konteks mitologi dan ritus sehingga keberadaan sedekah laut tampak dinamis dan tidak statis. Sebagai bagian dari budaya masyarakat, maka tradisi sedekah laut mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat Wonokerto. Pola pikir masyarakat yang semakin berkembang, sumber daya alam, dan perubahan sosial budaya yang terjadi pada masyarakat dapat menjadi faktor yang mempengaruhi terjadinya perkembangan dan perubahan bentuk maupun fungsi tradisi sedekah laut.

Tradisi sedekah laut dilaksanakan setiap tahun pada awal tahun dalam perhitungan Jawa yaitu bulan Sura pada tanggal 1 (satu). Tempat pelaksanaan sedekah laut di kongsi lama atau tempat pelelangan ikan di kampung nelayan yaitu di desa Wonokerto Kulon. Benda-benda yang digunakan untuk tradisi sedekah laut berupa sesaji aneka rupa yang sudah ditentukan jenis dan bentuknya secara turun temurun. Pelaku kegiatan sedekah laut yaitu semua pemilik perahu atau kapal. Di tengah laut sesaji dibuang ke air dengan harapan dapat diterima sebagai bukti rasa syukur nelayan terhadap penguasa alam atas rejeki yang telah dilimpahkan kepada masyarakat Wonokerto. Seiring perkembangan jaman dan perubahan kehidupan sosial masyarakat tradisi sedekah laut mengalami perkembangan bentuk dan fungsi.

Perubahan bentuk tradisi sedekah laut di Wonokerto dalam bentuk penyelenggaraannya yaitu penentuan Waktu dan Tempat Tradisi Sedekah Laut. Tradisi sedekah laut pada saat sekarang dilaksanakan masih pada bulan Sura atau awal tahun baru Islam tetapi tanggal pelaksanaannya sudah mengalami perubahan, tidak selalu 1 Sura yang penting masih di bulan Sura. Adapun tempat  pelaksanaan larungan sesaji tradisi sedekah laut juga mengalami perubahan yaitu di daratan tepatnya di tepi pantai dengan pemikiran setelah didoakan akan diperebutkan serta dimakan oleh orang-orang yang menyaksikan sedekah laut. Secara realistis dapat diterima akal bahwa memanfaatkan benda-benda yang digunakan sebagai ubarampe sesaji lebih mengarah kepada perbuatan arti sodaqoh yang sebenarnya. Alasan kedua pelarungan sesaji ke laut yang berlebihan dapat menyebabkan pencemaran laut dan mengotori lautan. Semua sesaji yang semula dibuang ke laut sekarang berubah hanya satu sesaji pokok (sajen gedhe) saja. Sajen gedhe adalah sesaji yang dibuat bersama-sama warga masyarakat dan menjadi simbol dari sedekah sebagai persembahan masyarakat Wonokerto. Masya-rakat mengambil hikmah dari kegiatan ritual sedekah laut sebagai salah satu bentuk manifestasi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Slametan yang diadakan malam hari sebelum tradisi sedekah laut, dilakukan setelah sholat magrib, pelaksanaan slametan di tepi pantai Wonokerto. Menurut Geertz (dalam Koentjaraningrat, 1994: 346-347) slametan atau wilujengan adalah suatu upacara pokok atau unsur terpenting dari hampir ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya. Penyelenggaraan pengajian merupakan perkembangan dari perubahan kehidupan religi masyarakat Wonokerto yang sebagian besar beragama Islam. Perubahan pengetahuan tentang agama bagi mayarakat mendorong kesadaran bahwa dalam kegiatan tradisi sedekah laut penyelenggaraan pengajian sangat diper-lukan. Perubahan dalam acara pendukung tradisi sedekah laut inilah yang merupakan bagian dari perubahan sosial budaya masyarakat Wonokerto. Menurut Soemardjan (dalam Setiadi, 2006: 50) perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk di dalamnya sistem nilai-nilai, sikap-sikap dan pola perilaku diantara kelompok dalam masyarakat. Isi dari khotbah pengajian dalam rangka tradisi sedekah laut yaitu mengingatkan kepada mayarakat bahwa tradisi sedekah laut merupakan salah satu cara melestarikan tradisi adat istiadat budaya mayarakat. Tradisi sedekah laut bukan untuk dikultuskan tetapi menjadi sarana mempererat tali silaturahmi warga masya-rakat.

Proses kegiatan sedekah laut merupakan ritual yang di dalamnya terdapat tingkah laku religius aktif, ucapan doa-doa tertentu dan melakukan korban diyakini mempunyai kekuatan yang dapat menghasilkan energi baru bagi aktivitas masyarakat nelayan. Sedekah laut masih diyakini masyarakat Wonokerto sebagai media “ibadat” yang berhubungan dengan keselamatan hidup, kemakmuran dan kesejahteraan. Semakin banyak benda-benda yang disedekahkan menunjukkan keberkahan yang akan diterima pemberi sedekah di masa yang akan datang. Semakin banyak orang yang berebut sesaji sedekah diyakini membawa berkah bagi pemberi sedekah. Sikap dan pola pikir inilah yang sebenarnya menjadikan masyarakat mempunyai mental solidaritas tinggi, meningkatkan kepedulian terhadap sesama sehingga mereka tidak merasa rugi memberikan sedekah kepada orang lain. Pada masalalu tradisi sedekah laut lebih berfungsi sebagai sarana atau media mengkomunikasikan diri dengan alam dan penghuni alam gaib atau roh-roh nenek moyang. Sedekah laut berfungsi untuk menjaga kehidupan para nelayan demi demi keselamatan hidup serta kemakmuran.

Penulis : Arina Manasikana, Mahasiswa Jurusan Hukum Ekonomi Syariah IAIN Pekalongan

Referensi :

Sri Widati, Tradisi Sedekah Laut di Wonokerto Kabupaten Pekalongan, Jurnal PP Vo. 1 No. 2, Desember 2011

https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/batik-pekalongan/

Soedjipto Abimanyu, Babad Tanah Jawi (Yogyakarta: Laksana, 2014)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun