Di sebuah dusun di wilayah kabupaten Lumajang, terdapat suatu bangunan yang memiliki nilai sejarah karena fungsinya yang cukup penting pada masa lampau dan usianya yang kini sudah cukup tua, yakni lebih dari satu abad terhitung sejak tahun berdirinya. Bangunan tersebut adalah Stasiun Tempeh (TPE) yang resmi didirikan pada tahun 1896 atau pada masa pendudukan Belanda di Indonesia. Lokasi persisnya berada di Dusun Tulus Rejo 1, Desa Tempeh Lor, Kecamatan Tempeh, Kabupaten Lumajang, dengan ketinggian +93 meter di atas permukaan laut. Posisi Stasiun Tempeh berada di sebelah lintasan jalur kereta api yang menghubungkan stasiun ini dengan Stasiun Lumajang dan Stasiun Pasirian. Stasiun Tempeh kini tergolong sebagai stasiun kereta api non aktif dan termasuk dalam Wilayah Penjagaan Aset Daop IX Jember.
Secara resmi, Stasiun Tempeh dibuka bersamaan dengan peresmian jalur kereta api Klakah-Lumajang-Pasirian pada tahun 1896 dengan nama sebelumnya yaitu Halte Tempee. Saat masih aktif, stasiun ini melayani kedatangan kereta dari Stasiun Lumajang dan Stasiun Pasirian serta mengurus keberangkatan menuju kedua stasiun tersebut.
Sejak zaman Belanda hingga tahun 1980-an, Stasiun Tempeh aktif mengoperasikan kereta uap dengan mengandalkan bahan bakar kayu jati. Selanjutnya pada tahun 1982, dengan hadirnya kereta api tenaga diesel maka Stasiun Tempeh mulai beralih mengoperasikan kereta api tenaga diesel. Beberapa bulan kemudian pengoperasian kereta uap dihentikan karena kereta api tenaga diesel dianggap lebih ramah lingkungan dan lebih praktis.
Sekitar tahun 1988, kendaraan modern mulai bermunculan, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Hal inilah yang mengakibatkan keberadaan kereta api pada saat itu menjadi kalah saing. Dengan demikian, pada tahun 1988 itu pula semua jalur kereta api di Wilayah Lumajang termasuk di Wilayah Tempeh ditutup. Sejak saat itu, Stasiun Tempeh secara resmi berstatus sebagai stasiun kereta api non aktif.
Stasiun Tempeh kini merupakan aset PT Kereta Api Indonesia. Dari keseluruhan bangunan masih terjaga keasliannya, namun kondisinya kurang terawat dan terdapat cukup banyak kerusakan. Saat ini, bangunan Stasiun Tempeh hanya tersisa bangunan utama. Sekitar tahun 1993 hingga tahun 2000-an bangunan utama stasiun ini dijadikan sebagai rumah walet. Selanjutnya, sekitar tahun 2013, bagian teras bangunan Stasiun Tempeh difungsikan sebagai taman belajar (PAUD) hingga saat ini.
Tidak banyak informasi yang dapat digali terkait sejarah bangunan Stasiun Tempeh. Kisahnya sudah terbengkalai, begitu juga dengan bangunannya yang kurang mendapat perhatian dan terdapat cukup banyak kerusakan di beberapa bagian, terutama di bagian ruang loket Stasiun Tempeh dulunya menjadi tempat untuk melayani pembelian tiket bagi calon penumpang kereta. Selain itu, pada beberapa bagian dinding terdapat banyak coretan yang merusak pemandangan terhadap bangunan Stasiun Tempeh.
Hal semacam itu sebenarnya cukup disayangkan, mengingat bangunan ini dulunya memiliki nilai fungsi yang sangat penting berkaitan dengan kebutuhan transportasi masyarakat pada masa itu baik sebagai transportasi menuju tempat kerja dan lain sebagainya. Di samping itu juga berdasarkan usianya yang sudah cukup tua, seharusnya terdapat banyak cerita sejarah yang dapat ditulis dari bangunan ini. Akan tetapi, tidak banyak catatan yang berkaitan dengan bangunan ini. Orang-orang yang menjadi saksi cerita perjalanan Stasiun Tempeh ketika masih aktif pun telah banyak yang meninggal.
Meskipun demikian, bangunan yang masih ada ini seharusnya diberikan perhatian baik oleh pemerintahan maupun masyarakat setempat untuk dilestarikan sebagai bangunan bernilai sejarah. Perhatian lainnya juga dapat diberikan misalnya dengan pemeliharaan dan perawatan bangunan. Sementara itu, kisah-kisah yang masih tersisa juga seharusnya diselamatkan sebagai catatan untuk mengabadikan sejarah dari Stasiun Tempeh ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H