Mohon tunggu...
Arina Lantani
Arina Lantani Mohon Tunggu... -

Sekedar ingin menulis :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengamen, Pengemis Aset Daerah

16 Agustus 2010   07:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:59 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika aku dan suami lagi jalan-jalan ke Malang Jawa Timur, ke salah satu pasar yang hanya buka pada hari Minggu saja di pusat kota Malang. Suami ku mendadak hilang, celingukan aku mencarinya, ternyata dia berada di salah satu kerumunan orang di pojok pasar. Aku menghampirinya dan menepuk pundaknya. “Asyik sekali ngelihatnya, ada apa sih?”, tanyaku.
“Lihat orang ini, matanya yang sebelah sudah tidak bisa melihat tapi tiupan sulingnya sangat dahsyat”, jawab suamiku.
Aku melihatnya dan mendengarkan dengan seksama, nada-nada tiupan suling itu... lagu-lagu kebangsaan Indonesia, lagu-lagu daerah dan kadang juga dia menerima reques lagu-lagu pop Indonesia. Dia bisa memainkannya dengan lihai. Kadang ada salah satu penonton mengiringinya dengan nyanyian, menjadi sangat semarak kerumunan itu dan mampu menyedot perhatian pengunjung pasar lainnya.
Tak terasa setengah jam aku dan suami berada dikerumunan tersebut. Di samping pemain suling tersebut ada 3 omplong(tempat menaruh uang) bagi yang mau berbaik hati memberinya. Sebelum aku beranjak, suamiku memberinya uang pecahan Rp.50.000,-.
“Kok banyak?”, tanyaku.
“itu masih nggak sebanding dengan keahliannya, cuma dia kurang beruntung tidak bisa berada di panggung selayaknya dan hanya bisa mengadakan konser dijalanan.” Jawabnya.
Satu bulan kemudian, aku dan suami kembali ke Malang dan kami mampir ke pasar yang hanya buka pada hari Minggu itu saja dan Pemain seruling itu masih tetap ditempatnya semula seperti satu bulan yang lalu dengan tetap meniup serulingnya. Itu hanya sekelumit kisah nyata. Sudah tiga bulan sampai bulan Ramadhan tiba saat ini kami belum ke Malang lagi. “Apa mungkin dia (pengamen seruling) itu kena razia satpol PP ya?,” tanyaku dalam hati.
Razia satpol PP terhadap anak jalanan, pengemis, pengamen yang akhir-akhir ini marak dilakukan seharusnya lebih istiqomah diterapkan, misal satu minggu sekali atau satu bulan sekali dengan tidak menentukan hari. Kalau sudah berniat memberantas anak jalanan, pengamen, pengemis harus sampai tuntas beserta solusi yang disuguhkan. Bukan sekedar merazia, membawa mereka ke panti sosial dan memberi pembinaan atau wejangan yang hanya berupa wacana saja. Hanya para pengemis dan pengamen itu yang tahu dari isi pembinaan yang sesungguhnya entah mereka mendengarkan atau tidak atau hanya masuk telinga kanan dan keluar di telinga kiri. Atau mereka setiap tertangkap mendapatkan wejangan yang sama sehingga mereka merasa itu sudah hal biasa. Tidak ada solusi kongkrit yang bisa disuguhkan. Mereka tidak akan kapok tertangkap.
Bukan saya membenarkan razia satpol PP itu, tapi bagaimana razia itu lebih efektif. Ada efek setelah razia itu dilaksanakan, yakni semakin berkurangnya pengamen, pengemis dan anak jalanan.
Ada yang menarik dari kisah saya tadi, tapi baru saya ungkapkan dialenia ini yakni pengamen seruling yang saya temui di Malang selain dia mengamen di satu tempat saja secara istiqomah tapi dia berpakain secara rapi, memakai kemeja berlengan pendek dan celana kain layaknya orang bekerja kantoran. Rambutnya tersisir rapi dan omplong (tempat uang) yang dipakainya dihias sedemikian rupa. Bukan seperti pengamen umumnya yang ada di bus kota tapi seperti selebriti ngamen. Hehe.
Aku jadi teringat tentang salah satu media yang menyebutkan bahwa pengamen luar negeri yang mana mereka berpakaian rapi dalam melakukan aksinya dan mereka tidak berpindah-pindah tempat. Sebenarnya hal itu bisa menjadi inspirasi bagi pemerintah Indonesia. Sudah banyak media yang mengexpos tentang bagaimana negara lain mengatasi pengamen dan pengemis. Sebagaimana di Australia juga, para pengamen tersebut harus mengantongi ID card jadi Pemerintah bisa mengontrol berapa masyarakatnya yang menjadi pengamen.
Razia perlu dilakukan. Tapi bagaimana razia itu bisa dibuat efektif. Sekedar opini, mungkin setelah razia dilakukan (untuk awalnya) para pengamen dan pengemis dikumpulkan di satu tempat. Diintrogasi dan dimintai tanda pengenal. Setelah itu dipulangkan ke daerah asal mereka. Pemerintah pusat berkoodinir dengan pemerintah daerah (sebuah tim), swasta lebih baik tuh karena pemerintah daerah kadang ribet banget. Mereka melakukan ajang pencari bakat sebagaimana acara di TV sehingga bisa digalih bakat mereka secara individu. Vokalis, gitaris, basist, drummer, penari atau bakat-bakat lainnya yang terpendam pada diri mereka. Jika ada yang kurang lihai, minder, perlu diberi motivasi dan pelatihan. Selanjutnya mereka ditempatkan di tempat wisata lokal (daerah) masing-masing atau tempat-tempat yang butuh hiburan tanpa harus mengganggu aktivitas orang lain, malah orang akan terhibur dengan kreativitas mereka entah dengan nyanyi, nyinden, menari atau lainnya  Jadi, selain mereka bisa mendapatkan penghasilan layak sekaligus bisa meningkatkan pendapatan daerah tuh. Dan jangan lupa, mereka yang sudah terlatih diberi suatu nama group dan ID card. Jadi mereka legal. Kalau masih ada yang pengamen atau pengemis yang berkeliaran tinggal dimintai ID card, kalau nggak bisa menunjukkan hukumannya penjara donk. Jadi pengamen atau pengemis bukan lagi sebagai sampah masyarakat, pengamen dan pengemis versi baru dengan memakai pakaian yang rapi, bersih, dengan mengantongi ID card dan tentunya berumur 17 tahun ke atas donk.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun