Mohon tunggu...
Rinrin
Rinrin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tuhan, Mengapa Aku Miskin?

9 Mei 2024   15:40 Diperbarui: 7 Juli 2024   16:51 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baju seragam yang lusuh, kerahnya menguning dan bagian lainnya ditumbuhi jamur seperti gerombolan semut hitam. Sudah tidak layak pakai. Anwar tidak memiliki pilihan lain selain tetap memakainya karena sang nenek, Mirah, belum bisa membelikan yang baru, toh buat beli beras yang harganya mendadak melambung tinggi pun nyaris tak mampu. Anwar sering menarik kembali harapan akan dibelikan sesuatu yang baru ketika mengingat apa yang ia miliki seperti pakaian kebanyakan hanya didapat dari uluran tangan orang lain. Bocah sebelas tahun yang masih duduk di kelas lima sekolah dasar itu sering merasa seolah tidak diperkenankan memiliki keinginan lebih dari kemampuan sang nenek dalam memenuhi kebutuhannya. Ia sadar menjadi miskin memang tidak boleh banyak maunya. Keinginan dan harapannya selalu terbunuh oleh keadaan.

Selepas mengganti dengan baju biasa yang itu-itu saja, seragamnya dikaitkan pada paku yang tertancap di tiang kamarnya yang sempit. Sebelum keluar rumah, Anwar juga tak lupa mengamankan sepatu belelnya ke tempat penyimpanan biasa, rak kayu kecil reyot di samping pintu masuk. Rumah yang ditempatinya bersama sang nenek, berupa bangunan non-permanen tua letaknya dekat pesawahan agak terisolasi dari pemukiman warga. Posisi di mana mereka tinggal menjadi bukti kentaranya kesenjangan sosial di desanya. Terpinggirkan. Kandang kambing minimalis bertengger tepat di samping rumah dan rongsokan berceceran memenuhi sepetak halaman belakang, kotoran kambing membuat aroma tak sedap menyelingi segarnya udara pesawahan.

Dalam kesehariannya, Anwar masih memiliki waktu bermain akan tetapi ia lebih memilih menggembala, ngarit atau mengais-ngais rongsokan dikarenakan jika bergaul dengan teman-temannya tentulah harus memiliki uang jajan atau membawa sepeda agar tidak tersisihkan. Satu kambing betina dituntunnya dengan tali tambang menyusuri pematang sawah diikuti tiga anak kambing yang tak berhenti mengembik di sepanjang jalan. Sebuah karung dilipat sekecil mungkin dengan isi arit dikempit tangan kanannya. Anwar pergi menggembala sekaligus mencari rumput untuk pakan. Kambing-kambing tersebut bukanlah miliknya, ia hanya memelihara punya orang lain dengan imbalan satu anak kambing jika sudah waktunya dikembalikan. Nanti ketika kambingnya sudah besar, Anwar berniat menjual bagiannya agar Mirah punya banyak uang atau dikurbankan seperti yang neneknya lakukan tahun lalu.

Kotak-kotak padi di sisi kiri dan kanan yang luasnya sukar diterka itu sudah mulai menguning dan sebagian telah dipanen. Dari kejauhan para buruh serabutan baru beranjak untuk pulang. Di bawah terik yang menyengat Anwar memantau mencari-cari neneknya di antara para buruh itu. 

 "Mak!" panggilnya lantang pada salah satu pekerja. 

Rupanya angin membawa suara itu lebih cepat menepi di telinga Mirah. Sehingga dalam beberapa detik ada lambaian tangan sebagai balasan. Mirah menyahut sembari melempar senyum, lelah yang melekat di wajahnya mengabur ketika melihat cucu satu-satunya itu. Anwar berteduh di dekat gundukan pohon pisang yang cukup memayungi dirinya dari sengatan mentari, kambing-kambing dibiarkan memakan rumput liar di sekitar sana. Selang beberapa menit, Mirah sampai di tempat Anwar menunggu. Anak itu mengangsurkan tangan menyalami tangan neneknya yang dingin akibat seharian berkutat dengan lumpur. Lalu Mirah cepat mengeluarkan rantang dari tas jinjing plastik yang selalu ia bawa ketika berkerja. "Nasinya masih banyak, lauknya pun nggak, Mak, makan," tuturnya, sebersit senyum tampak di wajahnya yang gosong dihajar panas. Anwar mengangguk senang. "Makan enak dong, Mak," kekehnya.

Tak lama Anwar pamit, mereka berpisah, Mirah berjalan ke arah Utara dan ia kembali meneruskan jalan ke Selatan. Anwar beberapa kali menoleh melihat punggung neneknya yang kian berjarak. Alisnya berkerut, menurutnya ada satu hal yang aneh, bibir neneknya begitu pucat. Anwar hapal betul seberapapun lelahnya Mirah bekerja tidak pernah terlihat begitu pias seperti itu. Sakit, kah? Pertanyaan itu mengendap di kepalanya hingga ia sampai di tempat biasa menggembala, bukit kecil dekat hutan. 

Sebelum duduk meneduh di bawah pohon nangka untuk segera menuntaskan lapar, ia terlebih dahulu mengikat tali tambang di tiang bekas gubuk yang sudah lama ditinggalkan dan membiarkan kambing-kambing itu melahap tetumbuhan sepuasnya. Anwar penuh semangat membuka tutup rantang, benar kata neneknya nasinya banyak, lauknya utuh berupa 1 buah semur ikan bandeng. Makanan jatah Mirah pemberian juragan yang memperkerjakannya tadi pun ludes dilahap Anwar. Begitulah kebiasaan Mirah, ia selalu menyisakan makanan untuk cucunya yang seharusnya ia makan ketika jeda bekerja. Selain rasa sayang, alasan Mirah selalu melakukan hal itu untuk mengirit beras, lagi pula ketika di rumah cucunya jarang makan dengan lauk sebagus itu.

Baca juga: Loteng Tante Amara

Setelah makan siang yang dirasakannya sangat nikmat itu, Anwar bergegas ngarit memanfaatkan rumput liar yang melimpah di sekitar sana. Ia jejal karungnya dengan banyak rumput sehingga terisi penuh dan padat yang perkiraannya cukup untuk dua hari bahkan lebih. Makan dan ngarit selesai, waktunya untuk istirahat yang tak jarang malah diisi oleh lamunan atau renungan. Ia kembali duduk, tafakur di bawah pohon nangka berbuah cukup banyak yang sepengetahuannya milik anak kepala desa

Diperhatikannya kambing-kambing yang terlihat jauh lebih bergairah ketika dibebaskan di alam liar. Sapuan angin memunculkan gemerisik deduanan yang cukup gaduh, kesunyian alam yang disaksikannya sukses menyentuh hatinya yang rapuh. "Tuhan, mengapa aku miskin?" lirih Anwar dengan tatapan panjang tak berujung. Seolah mencari tempat di mana letak untuk menemukan jawaban dari pertanyaannya. Hidupnya selalu susah, perih dan kesepian. Ketika suasana hatinya memburuk otomatis kelebatan wajah ibu dan kakeknya membayang penuh dalam benak. Paru-paru basah yang diderita ibunya sampai-sampai nyawanya habis tanpa banyak tersentuh obat-obatan rumah sakit, menimbulkan kegetiran teramat dalam. Jika kami tidak miskin ibu pasti mendapatkan perawatan tanpa terkendala biaya, begitu pikirnya. 

Tepat kelas tiga, Esti, sang ibu, menyerah pada penyakitnya dan ketika semester dua kelas empat, kakeknya ditemukan meninggal secara mengenaskan karena terjatuh dari pohon enau. Pondasi keluarganya semakin pincang, dalam banyak kesempatan ia sengaja berusaha menyabotase ingatan akan sang ayah yang tidak tahu di mana juntrungnya. Kabar hasil menguping diam-diam dari obrolan neneknya bersama kakek semasa hidup, ayahnya tega meninggalkan dirinya selepas dilahirkan. Ibu dan anak itu dicampakkan begitu saja, entah apa alasannya, Anwar tidak pernah tahu. Hal itu membuat statusnya membingungkan, tercatat seorang piatu, padahal sejak bayi hingga kini ayahnya pun tak pernah muncul lagi. "Bukankah kita ini miskin dalam segala hal?" Pertanyaan itu pernah ia lontarkan pada Mirah, sebagai respon dari perkataan neneknya yang mengatakan bahwa mereka sebenarnya kaya karena sehat walafiat. Namun, definisi kaya untuk Anwar ada dua yang bisa diartikan keluarga dan harta. Sayang, ia tak memiliki keduanya. Satu-satunya yang ia miliki hanyalah neneknya. Meskipun masih ada yang bisa disebut kerabat, tetapi karena miskin, Mirah dan Anwar enggan diakrabi. Mereka sasaran empuk dari pahitnya diskriminasi sosial. Sekonyong-konyong Anwar terperanjat, tetes-tetes air menembus batang dan dedaunan di atasnya lalu disusul oleh rintik yang semakin ramai. Hujan. Ia kembali sepenuhnya sadar dari lamunan, lalu bangkit memanggul karung rumput, melepas tali kambing lalu dituntun dan tak lupa menjinjing rantang. Pundak mungilnya tak setara dengan beban yang dipikul, anak sekecil itu harus dikangkangi nasib kurang mujur. Sementara kakinya terus melangkah, ia keheranan kenapa bisa turun hujan padahal sebelumnya cerah sekali. Namun, ia ingat guru sekolah pernah mendaraskan tentang krisis iklim yang berakibat tak menentunya siklus cuaca.

***

Hampir semalaman Anwar tidak bisa tidur, rasa cemas dan khawatir menyelubungi sepanjang waktu. Benar, neneknya sakit. Suhu tubuh Mirah sangat tinggi membuatnya meriang hebat. Kepalanya diserang migrain, hidung dan tenggorokan perih dan panas. Anwar kelabakan, yang ia lakukan hanya mengompres dan memberi obat warung, tetapi sampai pagi menjelang kondisi neneknya belum juga membaik. Anwar ingin sekali membawa Mirah ke klinik di kampung sebelah, tetapi ia yakin neneknya tak ada uang. Upah hasil kerja kemarin pun ia tahu telah dibayarkan untuk melunasi tunggakan listrik. Juga rongsokannya belum siap jual, masih sedikit. Lagi-lagi ia terjepit oleh peliknya finansial.

Rasa takut kehilangan mengusik ketenangannya lagi. Ia sulit berpikir jernih malah mengawang terlampau jauh. Anwar membantin takut neneknya semakin parah jika hanya mengandalkan obat warung saja. Ia tak ingin nasib neneknya sama seperti sang ibu. Pikiran buruk itu berusaha ia buyarkan, dialihkan dengan meminta neneknya bangun untuk makan dan minum obat. Selepas menyuapi neneknya yang hanya masuk beberapa sendok bubur, Anwar belum juga bangkit padahal beberapa menit lagi ia harus berangkat sekolah. Ia memainkan jari-jemarinya resah lalu dengan enggan meminta izin agar hari itu tidak masuk sekolah karena ingin menjaganya. Namun, Mirah menegaskan, "Mak, sudah tua bisa merawat sendiri. Kamu sudah melakukannya hampir sepanjang malam. Mak, tidak ridho kalau kamu sampai membolos," tuturnya bersuara parau. Sulit untuk membantah, Anwar pun berangkat sekolah dengan membekal kekalutan. 

Tengah hari lewat seperempat menit, Anwar belum juga pulang padahal Mirah sudah sangat menanti, kepalanya ingin dipijat dikarenakan pusingnya yang tak kunjung reda. "Kemana dulu, Cu?" Pada akhirnya pukul satu siang anak itu muncul dengan tampilan lebih kucel dan berkeringat tak seperti biasanya. Alih-alih menjawab pertanyaan Mirah, Anwar langsung menghampirinya dan mengajak berobat. Kening panas Mirah mengerut, bingung dengan ajakan cucunya yang di luar dugaan. Tanpa menunggu jawaban, Anwar mengeluarkan setumpuk uang kertas seribu hingga lima ribu dan recehan dari tas sekolah yang sudah beberapa kali Mirah jahit. Mata perempuan berusia 50-an itu membeliak. "Uang siapa? Dari mana?" tanyanya lirih, seolah suaranya habis dilibas perih karena radang tenggorokan. Wajah dan matanya yang memerah karena demam itu kian masak. Anwar bungkam, kebimbangan menggurat di wajahnya yang berpeluh. Tanpa jawaban pun, Mirah sudah bisa menebak. Ia yakin cucunya bolos sekolah lalu uang itu? Ada dua kemungkinan antara hasil mengamen atau mengemis di terminal sana. Dulu Anwar pernah melakukan hal itu ketika masih umur sembilan tahun karena dipengaruhi para pemuda terminal. Mengemis bermodalkan mengobral kisah hidup melaratnya.

Napas Mirah seketika memburu, kepalanya semakin berdenyut lalu berkata, "Mak, nggak minta berobat apalagi uang. Mak, cuma minta kamu sekolah, War!" 

Meskipun sakit dan suaranya tampak lemah, tetapi dari penekan tiap kata yang diucapkannya, ia tahu neneknya marah besar. Sebelum melakukan tindakan tak terpuji itu, Anwar sudah siap segala-galanya, kena marah pun tak mengapa asal neneknya bisa berobat. Anwar tidak merespon hanya menunduk menahan tangis. 

"Mak, sudah berkali-kali bilang meskipun kita nggak punya harta jangan merendahkan diri dengan meminta-minta. Kita hidup banyak diberi orang, sudah kenyang dipandang rendah. Kamu malah membuat kita lebih rendah lagi di mata mereka. Cukup kita bekerja dan dapat uang dari hasil keringat kita sendiri." Kali ini Mirah bertutur dengan suara nyaris hilang dilahap emosional yang bergumul di dalam dadanya.

Anwar mengusap air matanya menggunakan pergelangan tangan dan berucap pelan nan bergetar, "Maaf, Mak. Sekali lagi maafkan Anwar, ya. Anwar pengen Mak minum obat yang bagus biar cepat sembuh. Anwar t---akut, Mak---" Lidah anak itu mendadak kelu, tenggorokannya seolah tak menghendaki bersuara. Ia malah ambruk di pangkuan neneknya, menangis sedu sedan. Andai terasa lebih mudah dilafalkan, ia ingat berkata bahwa ia takut sekali kehilangan, takut ditinggalkan, takut harus hidup sebatang kara. Saat itu juga dalam pangkuan Mirah yang terasa begitu panas karena suhu tubuhnya yang belum turun, Anwar memohon pada Sang Pencipta jangan ambil neneknya lebih dulu dibanding dirinya. Tangis Mirah juga pecah, migrain kian parah, hidung dan tenggorokan yang terasa tak nyaman itu semakin tak karuan. Ia mengelus-elus kepala Anwar, memang ia marah dan kecewa tapi tak sedikitpun menyurutkan lautan kasih sayangnya. 

***

Keesokan harinya tepat pukul delapan pagi ketika pekerjaan rumah tuntas dikerjakan, Anwar pamit mulung. Pada awalnya Mirah ragu memberi izin, hari itu akhir pekan ingin sekali rasanya banyak menghabiskan waktu dengan cucunya. Kondisi Mirah agak membaik, rupanya obat-obatan warung cukup mempan meredam penyakit yang bersarang di tubuhnya. Anwar sebenarnya pundung meski ia sudah tak mengungkit masalah yang kemarin. Uangnya pun tak sampai dipakai berobat, entah akan diapakan uang itu nantinya. Adzan dzuhur telah berlalu sekitar sepuluh menit, tetapi Anwar masih belum kembali. Memang jika sedang pundung cucuknya sering menghabiskan waktu di luar rumah, tetapi hari itu tidak biasanya sampai belum pulang ketika waktu salat telah berlalu.

Mirah sangat menyesali kondisi tubuhnya yang tidak kuat untuk digerakkan jauh, pening dan lemas terasa sangat menggangu membuatnya tak bisa mencari Anwar. Yang ia mampu hanya melongok terus-menerus ke luar jendela, tapi anak yang ditunggu belum juga kelihatan batang hidungnya. Malah siang itu turun hujan cukup lebat, rasa khawatir Mirah semakin memuncak. Entah ke mana Anwar memulung, barangkali ia mencari rongsokan gila-gilaan karena neneknya tidak bisa bekerja bahkan untuk beberapa hari ke depan. Himpitan ekonomi memaksanya menjadi dewasa lebih cepat dari yang seharusnya. Anak itu memiliki rasa tanggung jawab dan akan melakukan apa pun untuk membantu neneknya.

"Assalamualaikum, Mak!"

"Mak Mirah, buka pintunya!"

Gedoran pintu dan teriakan-teriakan menyadarkan Mirah dari tidurnya, rupanya ia terlelap di tengah-tengah penantiannya. Terbangun secara paksa membuat kepalanya tambah sakit, ia berusaha memunguti kesadarannya agar kembali normal, sebelum beringsut menuju pintu ia sadar bahwa Anwar belum juga pulang. Dan siapa yang meneriakinya dari balik pintu? Bukan Anwar itu suara-suara orang dewasa. Dengan susah payah Mirah meraih pintu lalu membukanya, di luar berdiri dua orang pemuda air muka mereka keruh dan tampak pucat. Saat itu pula Mirah menyadari hujan telah reda dan matahari sudah menjorok ke sebelah barat.

"Mak! Anwar, Mak!" tutur satu di antara mereka yang diketahui bernama Wan.

"Ada apa sama Anwar?" tanya Mirah was-was, takut cucunya membuat masalah atau terjadi apa-apa.

Pria yang satunya menjelaskan dengan tersendat-sendat, "A---nwar jatuh ke sungai, dia terpeleset saat akan memungut botol plastik. D---ia terbawa arus, kabar ini sudah sampai ke balai desa dan m---enurut informasi bakal segera dilakukan proses pencarian."

Mirah sontak menganga, ia terguncang hebat debar jantungnya berpacu berkali-kali lipat. Ia menjadi limpung membedakan antara kenyataan dan mimpi. Namun, sakit di kepalanya menyadarkan bahwa itu nyata senyatanya-nyatanya. Pertahanannya yang tengah lemah itu tumbang, ia ambruk di tempat. Kesadarannya terenggut oleh keterkejutan dan sebelum pandangan menggelap juga ingatannya lenyap, ia masih sempat mendengar suara dua pemuda itu memanggil-manggil namanya. Mirah pingsan. Satu hal tentang kemarin yang tidak diketahui Mirah, sang cucu memohon agar diambil lebih dulu sebelum dirinya, mungkin Tuhan mengabulkannya lebih cepat. Berkaca dari kejadian-kejadian sebelumnya, sungai besar di desa itu nyaris tidak pernah mengembalikan korbannya dalam kondisi hidup-hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun