Malam ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya tetap senyap, temaram dan suram. Tengah malam jendela kamar masih kubuka lebar-lebar tidak peduli sebanyak apa angin masuk, sebesar apa tiupannya karena dengan senang hati raga ini didekap oleh semilirnya. Aku menengadah bumantara tampak sendu, gerombolan mega hitam bergelantungan siap mencurahkan dukanya, rembulan dan kelap-kelip bintang pun terhalang eksistensinya. Gelap yang kelam memperdalam rasa kekosongan, riak-riak kebahagiaan kian redup dilalap kehampaan.
Dengan suasana begitu muram semesta merengkuhku penuh sayang melengkapi kegundahan. Sapuan hawa dingin menusuk tajam membekukan segala perasaan yang bersarang. Dalam remang-remang dedaunan bergoyang, para nokturnal berkeliaran bersuara saling bersautan sedikit memberiku penghiburan masih ada sisa-sisa kehidupan di saat lelapnya orang-orang.
Helaan napas berat senantiasa berembus membentengi tangis yang tengah memaksa keluar dari persembunyiannya. Pikirku, cukup langit saja yang merintih karena tanpa menangis pun aku sudah sangat letih. Ketegaran yang nampak ibarat angkuhnya gunung di selatan rumah, namun di dalam terkoyak-koyak bak daging hewan buruan sang raja hutan. Sering terulang keinginan untuk hilang dalam gulita malam luput dari peredaran, bercokol di tempat tanpa derita di mana hanya ada tenang dan tentram, tapi sayang ini dunia bukanlah surga. Kuteguhkan dalam hati, nekat pergi bukan solusi dan bertahan satu-satunya jalan. Tetaplah ada, hidup takkan selalu dirundung lara nanti kan bahagia juga.
Dan akhirnya gemericik rintik menyeruak, linangan angkasa runtuh bercucuran. Kuulurkan tangan agar dijatuhinya. Benar, sentuhan alam selalu bisa menenangkan agaknya itu membasuh secuil kegamanganku yang barangkali esok hari masih sesuram ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H