Suara tuts keyboard memantul dari dinding ke dinding bergumul dalam ruangan gelap. Cahaya layar laptop menyembur menyirami wajah berkacamata seorang gadis yang tetap terjaga terduduk di kursi kerjanya. Dia sesekali mendesah kecil sembari menekan tombol backspace, menghapus kata perkata yang telah dirangkainya dengan susah payah. Aneh sekali, idenya sulit berkembang, dan kelopak matanya selalu nyaris tertutup, kantuk, tidak seperti biasanya. Padahal sebelum menulis di tengah malam seperti ini, dia sudah memiliki semacam ritual agar kantuk atau rasa bosan tak sampai mengusiknya.
Dari pukul 20:00 jika pekerjaan lain sudah selesai dia lekas tidur, lalu bagun setengah jam sebelum memulai perkejaan rutinnya sekitar pukul 23:00. Selama kurang lebih 30 menit, dia pergi mencuci muka, menyiapkan kopi dan membaca beberapa lembar novel kesukaannya.
Sejenak dia merenung bingung, kenapa dengan malam ini? Dia bertanya-tanya heran. Bayang-bayang wajah oriental nan tampan sang editor berkelebatan di benaknya yang besok pagi pasti bertanya mengenai kemajuan naskah yang tengah diselesaikannya ini. Meski berusaha memaksakan diri memperkejakan otaknya yang tersendat seolah ada gumpalan aneh menghalangi proses berpikir, dia akhirnya merasa tak tahan dan menghempaskan punggungnya ke belakang.
"Kamu itu kenapa sih Ananta?" gerutunya jengah. Sudah merasa tak minat melanjutkan mengetik, selagi tangan kiri menutupi mulut yang tengah menguap, tangan kanannya meraba menyisir permukaan meja di samping laptopnya untuk mencari ponsel. Yang diharap benda pipih itu cepat diraihnya, akan tetapi yang tersentuh hingga menggesernya tak sengaja adalah tupperware-nya. Botol yang terisi setengah air itu jatuh ke bawah menimbulkan suara bedebum yang terdengar nyaring di senyapnya malam.
Dia berdecak semakin jengkel, menambah pekerjaan saja, kesalnya. Tanpa terlintas akan menyulitkan dirinya sendiri dengan pencahayaan minim seperti itu, dia praktis menunduk untuk mengambil. Tidak ada, sepertinya bergelinding ke bawah lemari atau memang karena gelap jadi tak mampu menangkap sekadar bentuk bayangannya saja. Dia menggerutu padahal sebelum berniat mengambilnya, harusnya temukan dulu ponsel atau setidaknya hidupkan lampu. Tepat saat dia mulai mengangkat tubuh, terdengar sayup-sayup langkah dari koridor di depan kamarnya. Gerakan Ananta melambat telinganya merekam jelas suara itu.
Ananta kembali ke posisi duduk dengan degup dada tenang. Derap langkah itu palingan milik adikku, demikian perkiraannya. Dia bangkit membalikkan badan melangkah dengan hati-hati memperkirakan langkahnya agar tidak salah arah atau menabrak sesuatu. Dia berniat mengarah ke tembok di samping pintu yang tertempel saklar untuk menyalakan lampu gantung sederhananya. Satu tekanan jari telunjuknya membuat pergantian penerangan dari gelap menjadi terang yang membuat matanya mengerjap karena silau. Dia menoleh dan menengadah melihat jam cuckoo atau kukuk, asli dari Schwarzwald, Jerman, pemberian teman ayahnya yang habis berlibur dari negeri Panzer. Jam berbentuk rumah-rumahan mini yang terbuat dari kayu dengan segala ornamen uniknya itu tertempel di dinding menunjukkan hampir pukul dua belas. Masih banyak waktu karena biasanya dia akan menulis hingga jam satu dini hari, hanya saja kali ini otak dan matanya mendadak tidak bisa diajak sejalan. Ananta kembali menghadap tembok sembari membuang napas kasar, lalu melangkah lagi ke meja kerja mencari ponsel yang ternyata sepotong permukaannya menyelip di lembaran novel yang sempat dibacanya, tergeletak tepat di belakang laptop.
Sebelum meraih ponselnya, terlebih dahulu dia mengamankan mug porcelain bergambar beruang kodiak berisi seperempat kopi susu sudah mendingin ke tempat yang lebih aman, nakas di sebelah ranjangnya. "Untung saja bukan gelas kopi yang jatuh," katanya seraya kembali ke meja. Benda pipih itu sudah digenggamannya, jempol Ananta nyaris mendarat di layar ponsel ketika ketepak-ketepok langkah menembus tembok kamar. Seiring waktu suaranya mengabur teredam jarak.
Atensinya teralihkan. "Siapa yang turun t---angga?" Dia mengernyit, memang itu gemeretak dari tangga. Ananta menelan ludah, dia ingat adiknya sudah pindah kamar sebulan yang lalu ke lantai bawah begitupun dengan kamar orangtuanya yang memang sejak rumah ini berdiri ada di bawah. Hanya kamar dirinyalah yang ada di atas, jadi itu siapa? Otot dan saraf tubuhnya mulai menegang. Dia menyadari sesuatu, tanpa sadar Ananta melempar ponsel ke ranjang dengan asal, lalu bergegas ke arah pintu dan membukanya meskipun ragu. Seperti ada benturan dua energi saat udara dingin dari luar masuk ke kamar yang terasa pengap meskipun pentilasi dan AC berfungsi dengan baik. Gemeretak tadi lenyap, keremangan dan keheningan di rumah seolah menelannya.
Jantungnya sudah tidak aman, berdetak semakin tak karuan. Ananta mengigit bibir bawahnya cemas, mau tidak mau dia harus ke luar bahkan turun ke bawah. Kata hatinya mengiyakan tetapi raganya mendadak kaku tak ingin kemana-mana kalau saja ada lem, rela saja kakinya dilem agar tak pergi mengikuti keinginan hati. "Come on Ananta!" gumamnya menyakinkan dirinya sendiri. Ananta harus memastikan ibu dan adiknya ada di kamar masing-masing.
Satu langkah dipaksakan, dua langkah berikutnya, dia berdiri dalam keremangan koridor lantas atas. Bola matanya bergerak ke kanan dan kiri, napasnya tersekat, ekor mata berkacamatanya terpaku di sudut kiri koridor yang mana dia melihat pintu bekas kamar adiknya sedikit terbuka memperlihatkan bayangan cahaya dari lampu di dalamnya yang tak pernah dimatikan meskipun sudah tak ada yang menempatinya sekalipun itu siang hari. Ananta membuang napas berat, kepalanya ikut berdenyut seperti akan meledak. Siapa yang membukanya? Yang tadi kah? Pertanyaan itu bergelayutan di benak si gadis.