Mohon tunggu...
Rinrin
Rinrin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Penunggu Rumah

30 Agustus 2023   11:50 Diperbarui: 6 Oktober 2023   12:02 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah berhantu, sumber gambar dari unsplash.com/@janjakubnanista

Dia berbalik dan terlonjak nyaris terjengkang. Tangan kanannya memegang tengkuk. Napasnya memburu, terengah-engah. Daging tubuhnya terasa menggelenyar saking terkejutnya. Barusan tengkuknya ada yang meniup, terasa sangat dingin mendinginkan sekujur tubuh hingga meresap ke tulang. Di sana tidak ada siapa-siapa satu-satunya yang terlihat menonjol di keremangan hanya pintu utama nan besar rumahnya itu. 

Mata miopi-nya jebol, Ananta menangis. Namun, dia buru-buru menyeka yang membuat kacamatanya kembali melorot. Tidak ingin terkapar di sana begitu saja kalau-kalau dirinya pingsan karena ketakutan. Meskipun bergidik, dia memantapkan hati segera pergi ke atas mengunci seorang diri. Dalam hatinya dia berhitung satu sampai tiga dan tepat saat angka terakhir menggumam, sebuah tarikan kecil di bagian bawah cardigan panjangnya menarik perhatian Ananta.

Deg! Tubuhnya membeku seketika, napasnya dan aliran darah seolah berhenti bersamaan. S---iapa? Ananta benar-benar tak berani menoleh di hanya sanggup melihat dengan sudut matanya. "Kakak!" Sebuah suara halus memanggilnya. Bukan Noah. Bocah laki-laki bermuka gosong, Ananta membatin ngeri. Sepengalaman Ananta, inilah pengalaman horor paling sinting yang dialaminya sejak menempati rumah ini. Andai sang kuncen alias ibunya ada di rumah, pastilah hal seperti itu takkan terjadi. Oleh karenanya saat ketakutan mengepungnya tanpa ampun, terbesit rasa kesal pada ibunya yang belum diketahui pergi kemana.

"Kakak, panas." Bocah gosong berbicara lagi dengan begitu parau syarat kesedihan dan kepedihan. Ananta menggeleng-geleng sambil memejamkan mata, punggungnya bergetar karena menangis. Perasaannya berkecamuk antara ngeri dan sesak. "Kakak!" "Kakak!" "Kakak!" "Kakak!" "Kakak!" Seperti halnya bocah manusia ketika tidak mendapat respon, dia akan terus memanggil sampai apa yang diinginkannya tercapai. "KAKAK!" suara halus bocah bermuka gosong itu berubah jadi gema menyeramkan dan memekakkan.

Ananta semakin membatu, kakinya persis seperti yang diinginkannya tadi, bak dilem tidak bisa bergerak. Sementara mulutnya seolah dilakban, terbungkam. Dadanya naik turun, jantung berdetak kasar bertalu-talu. Sementara di dalam hatinya dia berteriak histeris, berusaha bergerak namun masih tak bisa. Gema suara bocah gosong bagaikan mantra yang membuat tubuhnya seperti patung. Dalam kekakuan otot-ototnya, air mata Ananta tetap mengucur mengekpresikan kengerian yang luar biasa. 

Si bocah gosong yang tak napak tersebut kemudian raib berbarengan dengan itu lampu gantung di atas kepala Ananta menyala. Ananta mengerdip. Ajaib, tubuhnya juga kembali normal. Dia cepat menyeka air mata di balik kacamata dan mengusap ingus yang hampir meluber mendarat di bibir tipisnya.

Tak memedulikan bagaimana lampu bisa menyala, Ananta memilih tancap gas lari sebisanya, meski lemas dan gemetaran dia berhasil menjajaki habis anak tangga hingga yang terakhir. Napasnya tersengal-sengal, peluh melumat habis piyama hingga mulai terasa gerah. Tak lagi berburu-buru, Ananta mengendap-endap menuju kamarnya sambil mengamati suasana ruangan, seolah takut keberadaannya disadari oleh sesuatu yang mengancam. Namun, baru saja beberapa langkah napasnya tersekat melihat pintu kamar bekas adiknya yang tadinya hanya terbuka sedikit menjadi kebuka sepenuhnya. 

Lagi-lagi dia menelan ludah, matanya berserobok dengan tatapan patung kayu Bali, Hanoman, yang diletakkan di sudut kamar berdinding krem itu. Dia cepat-cepat menggeleng mengenyahkan segala ketakutan dan langsung bergegas menuju pintu kamarnya lalu masuk dan menutup juga menguncinya. Tanpa diduga bersamaan dengan itu pintu di sebelah pun ikut tertutup dengan sangat keras.

***

Adrenalinku kembali memuncak gebrakan pintu itu begitu keras hingga meruntuhkan pertahanan membuatku ambruk di balik pintu. "Ya Tuhan, tolong!" lirihku dalam kesendirian. Aku mengusap wajah yang pastinya sudah sangat pucat pasi. Saat itu seketika aku ingat ponsel. Ya, ponsel, aku ingin tahu kemana Ibu pergi. Aku bangkit lalu beringsut menuju ranjang mencari ponsel. "Itu dia." Aku meraih ponsel yang terbalik di atas selimut. Benar saja, Ibu mengirimkan pesan di pukul sepuluh malam. Aku membacanya dengan tak sabaran.

"Sayang, Ibu dan adikmu pergi ke rumah sakit. Ommu, Om Wayan masuk rumah sakit lagi. Dia tak sadarkan diri, keadaannya kali ini kritis. Maafkan Ibu, Sayang. Ibu tidak sampai hati membangunkanmu karena kamu harus bekerja setiap malam. Ingat Sayang, jika situasinya diluar kendali, turunlah ke bawah kunci diri di kamar Ibu dan Ayah. Di sana akan aman."

Aku menurunkan ponsel kembali ke ranjang. Menghela napas panjang, sungguh terlambat. Andai Ibu tahu, aku baru membaca pesan darinya setelah diteror penunggu rumah ini, bocah bermuka gosong. Lantas apakah aku harus kembali ke bawah? Aku menggeleng tak sanggup. Semoga keadaan sekarang sudah lebih aman. Sungguh pikiranku bertambah bebannya bukan hanya dibayangi ketakutan tapi juga rasa khawatir dengan keadaan Om Wayan. Pantas Ibu dan Noah harus meninggalkanku jika keadaannya darurat seperti ini. Om Wayan sudah beberapa kali masuk rumah sakit, beliau memiliki masalah serius dengan jantungnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun