Mohon tunggu...
Ari Mochamad
Ari Mochamad Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis adalah penggiat lingkungan hidup dan perubahan iklim.

Penulis adalah penggiat lingkungan hidup dan perubahan iklim. Isu dan Agenda yang terkait keberlanjutan ini dilaluinya melalui organisasi lingkungan dan konservasi serta lembaga pendanaan pembangunan internasional.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Percepat Ruang Masyarakat Membangun Ketangguhan Iklim

7 Oktober 2019   07:00 Diperbarui: 7 Oktober 2019   07:16 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Estimasi kerugian ekonomi (dengan asumsi-asumsi yang dipakai) akibat perubahan iklim yang telah dihitung oleh  Sekretariat RAN API, Bappenas (2019), mencapai Rp. 115.423 miliar pada tahun 2024 apabila tanpa tindakan adaptasi. 

Sementara apabila diperbandingkan dengan tingkat PDRB Nasional di tahun yang sama (2024), sebesar Rp. 14.666. miliar). Menurut dokumen tersebut, apabila ada intervensi atau tindakan adaptasi, maka kerugian ekonomi hanya mencapai Rp. 62.193 miliar.

Kegagalan mitigasi perubahan iklim, membuat upaya Adaptasi semakin berat. Tingkat kerentanan wilayah terhadap bencana lingkungan semakin besar. Pada sisi lain, krisis iklim atau bencana karena faktor iklim  akan memberi tekanan hebat pada lingkungan yang kondisinya menurun secara kualitas dan kuantitas.  

Dengan gambaran kondisi ini, program pembangunan pemerintah di 5 tahun ke depan harus menempatkan persoalan kegagalan pengelolaan lingkungan dan aksi untuk merespon krisis dan bencana iklim sebagai prioritas penting, melalui 'paksaaan' untuk mengoptimalisasikan  peran dari lembaga publik, yaitu pertama melalui tindakan nyata dari rencana strategi yang telah disusun dan kedua,  pengkondisian terhadap lingkungan untuk mendukung kapasitas adaptasi lembaga publik itu sendiri, dunia usaha maupun masyarakat sipil lainnya melalui berbagasi instrument kebijakan dan operasional.

Serta ketiga, memberi ruang yang seluas-luasnya kepada masyarakat pada tingkat tapak untuk mendayagunakan kemampuan diri dan lembaga desanya tanpa dibatasi oleh aturan atau mekanisme yang membatasi kemampuan adaptasi dan upaya pengurangan risiko bencana akibat faktor iklim. Aspek yang ke tiga inilah yang akan ditekankan secara ringkas pada tulisan ini.

Aspek yang ke tiga ini penting untuk dipahami oleh aparatur pemerintah, termasuk aparatur pemerintah daerah (yang selalu menunggu kebijakan di atasnya) karena dinamika masyarakat dan lingkungan lebih cepat bergerak dibandingkan dengan kesiapan pemerintah dan birokrasinya dalam menyiapkan instrument kebijakan dan operasional.

Aspek yang ke tiga ini, juga merupakan anti-tesis dari kondisi dimana agenda perubahan iklim, lingkungan dan keberlanjutan dinilai dan menjadi monopoli kaum akademisi, aktivis, teknokrat. Mencari solusi-pun selalu hanya membatasi pada kelompok tersebut. 

Padahal realitas menunjukkan, banyak persoalan yang sampai saat ini gagal untuk diselesaikan walau solusi yang ditawarkan adalah hasil pemikiran orang-orang tersebut.  

Di tingkat  komunitas, penerapan pendekatan adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana menghadapi  tantangan  yang khas. Saat yang sama, mendesak pula kebutuhan  untuk mendemonstrasikan bukti  dari praktek  baik ketangguhan komunitas. Bentuk adaptasi atau penyesuaian diharapkan memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan sebagai salah satu syarat kunci. 

Keberlanjutan, dimaknai dari berbagai  aspek. Baik dari pembesaran skala luasan maupun jaminan berlangsungnya upaya tersebut secara kontinyu  paska intervensi (Amin, Suryani, 2018)

Tumbuhnya gerakan-gerakan individu pada tingkat konunitas dalam beradaptasi lingkungan, khususnya dalam menghadapi perubahan iklim merupakan langkah pragmatis dan praktis. 

Pengalaman kemandirian individu-individu dalam masyarakat dalam berorganisasi dan beraktifitas pada lingkungan sekitar menjadi modal optimisme keberhasilan adaptasi perubahan iklim ini.

Antisipasi terhadap banjir melalui pembuatan tanggul-tanggul, wilayah resapan dan tangkapan air yang sekaligus ruang interaksi sosial, pengelolaan peruntukan dan penggunaan air tanah dan permukaan  dan meninggikan rumah-rumah yang selama ini terendam air bila terjadi banjir merupakan contoh-contoh adaptasi yang dapat dilakukan secara individu dan kelompok masyarakat.

Kepedulian persoalan perubahan iklim yang ditunjukkan oleh kelompok masyarakat sipil dan dunia usaha melalui program tanggungjawab sosial-nya dapat menjadi fasilitator  untuk menjembatani persoalan pemahaman dan pendanaan.    

Kompleksitas persoalan pilihan adaptasi akan sangat tergantung dari heterogenitas dan kepentingan individu-individu masyarakat setempat. 

Tentunya pilihan-pilihan adaptasi individu-individu tadi berkorelasi  dengan  kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan masyarakat sebagai wujud ketahanan sumber kehidupan ekonomi mereka dalam menghadapi  perubahan iklim.  

Nilai-nilai pengetahuan dan kearifan dan pengetahuan lokal yang masih kental dan berlaku di beberapa daerah dalam memperlakukan lingkungan dan ekosistemnya sebagai bagian dari nilai-nilai hidup mereka dapat menjadi perekat dan memperkaya strategi adaptasi individu yang dikembangkan dalam mengatasi perubahan iklim.

Esensi keterlibatan langsung individu-individu dalam masyarakat akan mampu membangun dan mempengaruhi warna dari rumusan dan perdebatan strategi adaptasi perubahan iklim.

Memobilisasi gagasan yang disampaikan untuk mendapatkan respon dan pemahaman yang sama dibutuhkan unsur-unsur peubah yang mampu mendorong masyarakat bersifat kolektivitas bergerak ke arah yang diinginkan. 

Untuk selanjutnya mengonsep beragam dimensi ke dalam kerangka kerja yang dimungkinkan, baik pada tingkat makro, meso dan mikro maupun tingkat tapak (desa).

Menyatukan informasi terkait krisis iklim terhadap setiap kebijakan yang dibuat adalah suatu keharusan, melalui pemanfaatan teknologi dan digital, sebagai alat untuk membongkar  realitas di lapangan, dimana masyarakat secara umum seringkali menghadapi kesulitan memperoleh informasi yang tepat dan benar.  

Aspek utama lainnya adalah ketersediaan teknologi yang mampu dipahami,  dilakukan dan dikelola. Hanyalah pandangan tradisional yang selalu mengidentikkan  teknologi adaptasi dengan instrumen yang mahal dan canggih, seperti pembangunan  dam/tanggul, alat pendeteksi dini, skema irigasi, dan lain-lain. Sebaliknya, justru teknologi yang berbasis pada kondisi lokal-lah yang harus dikedepankan.

Sebagai penutup, aksi masyarakat akan sangat terbantu dengan kajian dan peta risiko dan kerentanan. Dengannya, masyarakat akan mudah menentukan aksi adaptasi dan pengurangan risiko bencana. Oleh sebab itu, pada ruang inilah, peran yang dibutuhkan dari LSM, akademisi/perguruan tinggi untuk memfasilitasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun