Jangan heran kalau kelak seorang wakil yang berjasa mendulang suara dan dipilih agar diterima kaum santri, akan diabaikan.
Apa yang nanti terjadi ketika calon bupati Rembang adalah seorang perempuan?
Perempuan modern sudah merasa isu ketidaksetaraan tidak layak mengemuka dalam perbincangan.
Ini bukan soal boleh dan tidak boleh. Ini masalah kapasitas. Mampu atau tidak mampu. Kuat atau nggak kuat.
Pada sisi lain, meskipun kepemimpinan perempuan masih kontroversial, ada saja dalil dan dalih untuk mengunggulkan calon perempuan.
Bukan soal agama. Begitulah politik.
Semua masalah terasa bisa diselesaikan, ketika masa pencalonan dan kampanye sedang berlangsung.
Pelabuhan Sluke yang aktif namun berstatus non-aktif bagaimana? Bisa kita selesaikan. Harga naik-turun tanpa kendali, pasar berteriak, bagaimana? Bisa kita selesaikan. Bupati dan beberapa kepala desa tersandera akibat kasus yang belum selesai, kelanjutannya bagaimana? Bisa kita selesaikan. Semua bisa diselesaikan, begitu kata politisi. Seperti pencalonan sebelumnya. Seperti pilbup sebelumnya. Hasilnya, adalah Rembang yang sekarang.
Kita sedang menipu diri sendiri ketika kemajuan Rembang kita tampilkan sebagai simulasi dan presentasi, demi laporan. Kita sedang menipu diri sendiri ketika ada gelagat tidak beres, kita diamkan.
Jangan terpesona melihat banner dan video, kata-kata yang overconfidence yang sebenarnya menyembunyikan keretakan. Kita tidak perlu pura-pura romantis kalau memang ada masalah.
Pipit - Umom "Romantis" hanyalah kelakar yang nggak nyambung. Bukti keraguan para pemilih, bahwa barisan mereka benar-benar romantis luar dalam. Bukan dukungan.