Reni sedang asyik berselancar di dunia maya. Lila, anaknya berusia 6 tahun, mendekatinya. "Ma, aku mau main ke rumah Shifa, ya?" katanya dengan senyum riang.
"Ya," jawab Reni dengan mata tetap lurus ke layar monitor.
Reni tak tahu senyum di bibir Lila meredup jadi kecut.
Lila merasa Ibunya lebih sayang komputer daripada dirinya. Berbicara seperlunya. Tanpa senyum hangat seperti dulu. Lila merasa tidak dianggap, tidak diorangkan, tidak dimanusiakan.
Terkadang tanpa sadar orang tua begitu egois. Asyik dengan dirinya sendiri, dunianya sendiri. Lupa ada anak yang membutuhkan sentuhan kasih sayang. Yang menyapanya sembari senyum dan mengerjapkan mata lucu. Yang menepuk lembut bahunya, meyakinkan bahwa anak bisa menciptakan gol-gol indah setelah ini.
Berbicara selaras bahasa tubuh. Anak duduk di tepi kasur, orang tua menekuk dengkul di lantai, tepat persis di depan anak. Anak merasakan orang tuanya adalah sahabatnya, dimana ia bisa berkata jujur tanpa takut dicela apalagi dimarahi, lebih-lebih terancam akan diintimidasi.
Tatapan mata yang lembut dan bersahabat mampu menyentuh kedalaman hati anak. Kesannya bisa melebihi ribuan kata yang terungkap lewat lisan.
Anak adalah perekam terbaik. Ia merekam perilaku orang tuanya.
Tidak selalu anak meniru jejak rekam buruk orang tua. Namun tak jarang yang kemudian mengadopsi perilaku buruk orang tua. Menganggap perilaku buruk itu hal wajar, biasa. Maka jangan heran bila kemudian anak menjauh dan lebih terbuka pada orang lain.
Orang tua mesti berbesar hati introspeksi diri. Sudahkah pola asuhnya tepat sesuai kebutuhan anak. Terus belajar bagaimana berkomunikasi yang baik dengan anak.
Bila anak melakukan kesalahan (kebodohan) di kemudian hari, itu tak lepas dari kesalahan (kebodohan) yang dibuat orang tua. Meminta maaf pada anak adalah sikap orang tua yang berjiwa besar.