Benar bahwa anak adalah guru terbaik. Tuhan bekerja melalui anak-anak untuk menyadarkan manusia dewasa yang ternyata belum dewasa agar menjadi dewasa.
Rianty bertahun-tahun bahagia dengan pencapaiannya. Menjadi pimpinan di sebuah organisasi, memiliki banyak staf yang patuh dan selalu mendengarkannya. Rianty sebetulnya tidak jelek-jelek amat, tidak otoriter atau diktator dalam kepemimpinannya. Ia cukup demokratis dan terbuka. Namun dalam hati, ia menyimpan kesombongan, ia mengakui sendiri hal itu, ia merasa bisa mengendalikan segalanya. Ia curahkan seluruh waktu dan pikirannya untuk pekerjaan yang dibanggakannya. Ia terlalu mencintai pekerjaannya dan menomorduakan keluarganya.
Keasyikannya dengan dirinya sendiri terusik manakala anaknya yang biasanya menurut tiba-tiba memberontak, melakukan perlawanan. Anaknya tak bersikap manis lagi seperti biasanya. Rianty merasakan ada jarak yang begitu jauh dengan anaknya. Saat kesadaran itu datang, ia berlari kencang mengejar anaknya.
"Harus kuakui, anakku telah meruntuhkan kesombonganku," kata Rianty.
Rianty kemudian menyibukkan diri mengoreksi diri sendiri. Ia sadar jiwa pemberontak anaknya adalah jiwanya juga.
"Dulu waktu kecil, aku juga memberontak pada orang tuaku," kata Rianty, berusaha bersikap tenang.
Kemudian Rianty mengingat kembali berbagai karakter orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya. Ia ingat satu orang di antaranya mirip anaknya. Ingatan itu membuatnya lebih peka dan realistis dalam bersikap dan menilai orang lain.
"Jujur, kadang mudah saja buatku menghakimi anak buah, meski tidak kuucapkan di depannya, dalam hati aku membuat penilaian-penilaian negatif yang menurutku sekarang ini ternyata itu adalah ceroboh dan tergesa-gesa, tidak selalu akurat, berprasangka burulah intinya," kata Rianty.
Bersamaan dengan pengakuan runtuhnya menara kesombongan, Rianty yang sedang menata kembali jalinan kedekatan emosional dengan anaknya ini, kini mendapati dirinya lebih rileks menjalankan kepemimpinannya, dan ia dapati kini lebih mudah mendapatkan kerja sama dari orang-orang di bawah kepemimpinannya.
"Banyak yang bilang kini aku berubah. Aku tersenyum saja menanggapi komentar itu," cerita Rianty.
"Bersikap tegas tetap harus, tapi aku punya cara komunikasi yang baru, yang tidak mengintimidasi, tidak mengedepankan arogansi, tidak mentang-mentang pemimpin yang punya wewenang. Dengan pola komunikasi baru ini, perkembangannya jadi lebih menyenangkan, jauh dari apa yang bisa aku duga. Mereka lebih aktif, kreatif dan punya banyak inisiatif, sangat menggembirakan. Mereka antusias dalam bekerja tanpa merasa diperintah-perintah," tutur Rianty, tersenyum ringan.
Melalui anaknya, Tuhan membuat Rianty menjadi pemimpin yang bijak dan lebih pintar melihat kelebihan-kelebihan orang lain.
(Rianty, bukan nama sebenarnya, atas permintaan narasumber dalam tulisan ini.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H