Mohon tunggu...
Arimbi Haryas Prabawanti
Arimbi Haryas Prabawanti Mohon Tunggu... Jurnalis - Behind Arimbihp Photo and Craft

Half Photographer, half a Journalist Tempo.co

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Seni Memanusiakan Manusia

31 Oktober 2023   16:40 Diperbarui: 31 Oktober 2023   16:55 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari terakhir, banjir informasi memenuhi media massa, mulai dari kabar peperangan hingga segala isu yang tergolong sensitif.

Berbagai isu yang beredar bagi sebagian orang menjadi penting, namun tak sedikit pula yang acuh sebab sebab dinilai tidak berpengaruh.

Sebagai kulit tinta yang siang malam mau tak mau melihat arus informasi demi sesuap nasi akhirnya menampung luapan cerita yang mengalir begitu saja.

Satu dari sekian banyak yang sering kali menjadi sorotan adalah berbagai reaksi dan opini yang terkadang di luar prediksi.

Misalnya ketika kasus bunuh diri yang setiap hari ada saja muncul di berbagai sebab.

Pelaku yang dimaksud tak harus dari kalangan orang penting, terkadang rakyat jelata (yang sama-sama tidak tahu apa-apa) justru saling senggol hanya gara-gara reaksi dan opini.

Sebuah berita mainstrem menyebut "Mahasiswa Universitas X ditemukan Gantung Diri Akibat Depresi",kabar tersebut beredar luas, cepat dan masif.

Namun sayang, reaksi yang muncul bukan keprihatinan melainkan pertanyaan-pertanyaan yang terkadang kurang pas diucapkan pada seseorang yang jiwanya sedang terluka.

Bukan lagi "Mengapa dan Apa Sebabnya" tetapi "Dia Mahasiswa, seharusnya bisa berpikir lebih, dia 'orang pandai' seharusnya punya cara yang masuk akal.

Pertanyaan lain yang terseret sebagai respon opini tersebut, bisa mengenyam pendidikan, adalah previlage (keistimewaan), keberkahan atau justru petaka?

Menjadi pandai secara akademis apakah lantas bisa mengolah emosi dan permasalahan hidupnya seorang diri? Apakah menjadi pandai artinya harus menjadi sempurna?

Terjebak pada tren mengomentari aksi reaksi hingga lupa bahwa semua manusia dilahirkan dengan kemampuan dan takdir yang berbeda-beda.

Bukan menyoal benar-atau-salah, tapi tentang sikap dan seni memanusiakan manusia yang kian sulit ditemui di masa kini.

Memanusiakan manusia tak perlu harus menjadi kelompok garis keras yang membela sisi tertentu, turun ke jalan, atau membawa bendera saat aksi.

Cukup dengan menyadari bahwa setiap insan, memiliki kekurangan yang bisa dimaklumi, setiap kesalahan, ada kesempatan untuk kembali hidup dan bangkit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun