Rupanya aku jadi penumpang terakhir di gerbong ini, menengok sekeliling, KAI Commuterline ini sudah kosong dan sepi, namun tak ada yang berubah dibanding saat berangkat tadi, bersih, rapi dan wangi.
Sementara itu, pintu keluar sudah penuh dengan penumpang yang mengantre mengular untuk keluar, memenuhi jalan yang tadinya lebar.
Satu per satu mereka berlalu, termasuk aku, pintu keluar khusus KAI Commuterline itu kulalui dengan mudah, murah tanpa marah-marah.
Sekali lagi ingin kutanya, sudah sampaikah dia di rumah? ah, kuurungkan niatku untuk kesekiankalinya. Rasanya baru 1 jam aku tiba, sudah rindu 1 menit sesudahnya.
Lagi dan lagi, KAI Commuterline tak hanya mengantarku datang dan pergi, pun juga saksi saat menyeka air mata dan memeluk rinduku sendiri.
Bangku-bangkunya begitu tabah mendengar cerita dan keluhanku yang kuulang berkali-kali. Gerbong besinya begitu kokoh melindungi aku yang masih gigih mengejar matahari.
Relasi terakhir yang kutumpangi, selanjutnya KAI Commuterline itu terlihat diistirahatkan pada ruang di ujung Stasiun Balapan, untuk esok siap kembali melaju, meski tak bersamaku.
Setibanya di Solo, dibalik pintu KRL itu, tak lagi kulihat bayangmu yang mengantarku, tak lagi ada hangat genggammu di ujung Stasiun Tugu.
"Tangi mbok, wes sore, gek mahriban sikik, njo tak imam i"Â suara itu terdengar begitu dekat, perlahan kubuka mata sembari meregangkan otot-otot leher yang kaku.
Mimpi yang menjadi nyata ternyata bukan dongeng di buku-buku cerita saja, bahkan sosoknya kini bisa kulihat hampir setiap harinya.