Terlebih, hanya setengah tahun sekali, Widadi bisa bertemu anak-anak dan istrinya, padahal mereka tinggal di pulau yang sama.
Bukan tanpa alasan, hal itu terpaksa ia jalani lantaran Pasar Rakyat tidak hanya berlangsung di satu tempat, sama seperti pedagang yang lain, Widadi harus ikut berpindah-pindah.
Suasana jual beli celengan di Pasar Rakyat
Pasar Rakyat biasanya diselenggarakan di berbagai kota dengan waktu satu bulan, sesudahnya, mereka akan berpindah ke kota lainnya.
Hampir seluruh kota di Jawa pernah ia datangi, bahkan, Widadi pernah ikut berjualan di Pasar Rakyat Sumatra, Kalimantan, hingga Sulawesi.
Saat berdagang di kota-kota tersebut, agar lebih hemat dan efisien, ia biasanya indekos di sebuah rumah yang tak jauh dari Pasar Rakyat.
Widadi biasanya membuka lapaknya mulai pukul 09.00, namun bila mendung atau hujan, ia datang pukul 11.00 karena menurutnya, di jam itu ramai orang berjalan-jalan atau anak-anak pulang sekolah.
Sehari penuh Widadi berjualan, gubug tempatnya berjualan biasanya tutup pada pukul 02.00, tak jarang pula ia tertidur di lapak hingga pagi.
Bukan cuma pernah babak belur dihajar pandemi, gadget keluaran terkini juga sempat membuat lapaknya sepi bahkan tidak ada pembeli sama sekali.
Namun siapa sangka, jatuh-bangun berdagang celengan dan pasaran itulah yang mengantarkan ketiga anaknya menjadi sarjana.