Lampu ting tersebut digunakan untuk mengiringi arak-arakan karena pada masa itu lampu listrik masih sangat jarang atau bahkan tidak ada.
Wartini mengaku, ia mengikuti tradisi ini sejak usianya masih 17 tahun, mengingat kedua orang tuanya juga merupakan santiswara atau pelantun tembang Jawa di Kraton Surakarta.
Ia menilai, semarak Selikuran kini tak lagi seramai saat Wanti masih muda dahulu, banyak perbedaan mulai dari jalur perjalanan hingga antusias masyarakatnya.
Hingga sekitar 2007, lanjut dia, rute perjalanan Selikuran biasanya dimulai dari Keraton Kasunanan dan diakhiri di Taman Sriwedari, lengkap dengan pasar malam dan keramaian Jalan Slamet Riyadi.
Selikuran yang sempat terhenti
Sebagai informasi, Slikuran sempat terhenti pada masa Pakubuwana XII dan hanya dilaksanakan di Keraton Surakarta.Â
Namun saat H R Hartomo menjadi wali kota Surakarta  (1985-1995), Malam Selikuran kembali dilaksanakan di Taman Sriwedari.Â
Hal terseniy dikarenakan adanya perbedaan pemahaman budaya masyarakat.
Pada masa itu, masyarakat sangat meyakini pembangunan hanya perlu dari segi ekonomi sementara sisi budaya sempat terabaikan.
(Arimbi Haryas Prabawanti/2022)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H