Surakarta - Nuansa merah dan puluhan lampion nampak mendominasi di sekitar Pasar Gede, Kelenteng Tien Kok Sie dan Kampung Sudiroprajan.
Bukan tanpa alasan, dekorasi lampion dan warna merah tersebut mulai mendominasi karena masyarakat Tionghoa hendak merayakan Tahun Baru Imlek pada Rabu (01/02/2022) mendatang.
Tak hanya dekorasi, masyarakat Tionghoa di Kota Solo juga mulai melakukan sejumlah ritual keagamaan untuk memeriahkan Tahun Baru Imlek.
Salah satu upacara adat yang sudah dilakukan di Kelenteng Tien Kok Sie pada Minggu (16/02/2022) adalah Pao Un atau ruwatan tolak bala.
Pao Un diawali dengan menaikan persembahan atau  sesaji di depan Altar Dewi Kwan Im, selanjutnya umat Tri Darma melakukan sembahyang kepada tuhan yang maha esa dengan membaca doa-doa dengan di pimpin  beberapa biksu.
Sebagai informasi, meski dipimpin oleh seorang biksu, Pao Un yang diselenggarakan di Kelenteng Tien Kok Sie tidak hanya diikuti umat beragama budha saja, namun boleh diikuti masyarakat yang beragama lain.
Hal itu karena, Kelenteng Tien Kok Sie merupakan tempat beribadah untuk umat penganut Tri Dharma (Taoisme, Khonghucu, dan Budha).
Bukan hanya latar belakang agama yang beragam, para peserta ritual Pao Un atau tolak bala ini  juga berasal dari berbagai daerah di luar kota Solo.Â
Ketua Kelenteng Tien Kok Sie, Sumantri Dana Waluyo mengatakan, dalam acara Pao Un, masyarakat juga diajak untuk memohon ampun kepada Tuhan atas kesalahan dan dosa yang diperbuat manusia.
"Saat Pao Un, kami juga memohon kelancaran rezeki dan menangkal kesialan jika tidak ada keselarasan antara shio yang dianut dengan shio pada tahun ini yang merupakan Shio Macan Air," kata Sumantri saat ditemui di Kelenteng Tien Kok Sie, Minggu (16/1/2022).
Sumantri juga menuturkan, menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, jika seseorang shionya tidak ada keselarasan, maka bisa terjadi ciongÂ
"Ciong itu bahasa awamnya pertentangan, bilang aja ada kesialan," ujar Sumantri.
Lebih lanjut Sumantri menceritakan, kesialan tersebut bisa dibuang dengan memotong sedikit rambut dan membaca doa yang dipandu para biksu.
"Setelah pemotongan rambut, nanti rambut tersebut akan diguyur dengan air yang sudah didoakan dan diberi bunga," lanjutnya.
Pembebasan makluk yang bernyawa
Pada kesempatan yang sama, umat di Kelenteng Tien Kok Sie juga menyelenggarakan tradisi Fang Sheng atau pelepasan makhuk hidup yang bernyawa.
"Makluk yang dilepas biasanya hewan darat, laut atau udara," kata Sumantri.
Menurut Sumantri, pelepasan hewan dalam upacara Fang Sheng ini filosofinya yakni memberi kebebasan dan melepas kesialan segala makluk yang bernyawa.
Ia menuturkan, tidak ada ketentuan terkait jumlah hewan yang dilepaskan dalam upacara Fang Sheng.
"Tahun ini kami melepas ribuan lele, ada yang jumlahnya umur, ada yang menganggap lebih banyak yang dilepas maka akan lebih baik dan membawa keberuntungan," tuturnya.
(Arimbihp/2022)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H