Mohon tunggu...
Joe De  Forester
Joe De Forester Mohon Tunggu... -

environmentalis, rimbawan utun dan pejuang sendirian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Virus Kebencian dalam Pengunaan Kata Kafir

21 Maret 2016   13:05 Diperbarui: 21 Maret 2016   13:53 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="WWW.ISLAMICTREASURE.COM"][/caption]

Dalam artikel kompasioner Araska Mada yang berjudul Saya Muslim, Saya Pilih Ahok Demi Islam menempatkan kata kafir sebagai pembeda bagi orang-orang non muslim dengan kotonasi orang-orang yang harus dimusuhi.

Bukan hanya kompasioner Araska Mada saja yang merasa lumrah mengunakan kata Kafir, banyak artikel khususnya berkaitan dengan nama Ahok sering mengunakan kata Kafir dengan tujuan mengiring kebencian terhadap Ahok sekaligus agama tertentu.

Dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakat kata kafir diucapkan dengan ekspresi kebencian. Kebencian ini dipelihara dan ditularkan secara  sadar dan hal ini sudah seperti sesuatu yang lumrah.

Mengapa kata Kafir ini sering digunakan kebanyakan orang, mungkin ini diakibatkan terjadi pembiasan makna dari kata Kafir itu sendiri.

Kāfir berasal dari kata kufur yang berarti ingkar, menolak atau menutup. Pada zaman sebelum Islam, istilah tersebut digunakan untuk para petani yang sedang menanam benih di ladang, menutup/mengubur dengan tanah. Sehingga kalimat kāfir bisa diimplikasikan menjadi "seseorang yang bersembunyi atau menutup diri" (etimologi) Kāfir (bahasa Arab: كافر kāfir; plural كفّار kuffār) secara harfiah berarti orang yang menyembunyikan atau mengingkari kebenaran.

Dalam terminologi kultural kata ini digunakan dalam agama Islam untuk merujuk kepada orang-orang yang mengingkari nikmat Allah (sebagai lawan dari kata syakir, yang berarti orang yang bersyukur). (hhtp://id.wikipedia.co).

Kalau dimaknai secara benar maka kata Kafir adalah orang-orang yang mengingkari nikmat Allah dan lawan katanya adalah Syakir yakni orang-orang yang bersyukur atas nikmat Allah.

Bagaimana bisa orang menetapkan sesorang sebagai yang Kafir atau Syakir ?

Sering kita mendengar orang kebanyakan mengatakan  "Elu Kafir" dan kata Kafir itu seolah melekat pada diri seseorang dan ini seolah merupakan Given (pemberian) yang tidak bisa dipungkiri dan terus melekat pada seseorang.

Hal ini seolah disamakan ketika sesorang mengatakan bahwa “ Elu Cina” , “Elu Batak” dan “Elu Jawa”. Ketika seseorang mengatakan pada orang lain bahwa Elu Cina dan orang tersebut memang benar dari etnis Cina maka ini tidak menjadi persoalan sebab sampai kapanpun etnis tersebut tetap melekat dalam diri orang tersebut dan orang tersebut tidak perlu marah ketika dikatakan dia Cina sebab itu merupakan kenyataan dan orang yang mengatakan Elu Cina juga tidak perlu melakukannya dengan ekspresi mengejek dengan wajah kebencian sebab menjadi orang Cina, orang Negro bahkan orang Indonesia bukan merupakan aib dan dosa.

Sebaliknya ketika seseorang mengatakan orang lain “Elu Kafir” maka pertanyaannya apakah orang yang dikatakan Kafir tersebut faktanya seorang kafir (orang yg tidak mensyukuri nikmat Allah) atau dia dikatakan kafir  hanya karena dia bukan memeluk agama islam ?

Kalau Ahok dikatakan “Elu Cina dan Elu Kristen” maka itu adalah kenyataan yang tak mungkin dipungkiri. Tapi Kalau mengatakan kepada Ahok  “Elu Kafir” atau “Elu Korupsi RS Sumber Waras” maka itu namanya fitnah dan pencemaran nama baik.

Secara tidak sadar (lebih eling lagi kalau sadar) sebenarnya orang tersebut menghina mengatakan sesuatu kepada orang lain tidak sesuai fakta.

Maka secara tidak sadar kompasioner Araska Mada juga menghina Ahok karena saya yakin Ahok tidak mau dikatakan “orang yang tidak bersyukur atas nikmat Allah (Kafir)”. Ahok adalah manusia yang penuh Syukur atas nikmat Allah (Syakir) dan tentu ini sesuai dengan ajaran Kekeristenan yang dianutnya dengan baik. Dengan segala puji syukurnya dia menikmati gajinya serta apa yang dimiliknya sehingga dia tidak mau melakukan korupsi dan bahkan melawan para koruptor.

Aku tidak mempersoalkan maksud serta semangatnya kompasioner  Araska Mada untuk memuji dan mendukung Ahok dalam Pilgub 2017 nanti. Saya juga tidak mempersoalkan ketika Araska Mada mengatakan “Saya Muslim, Pilih Ahok” itu sih pernyataan pribadinya dan melekat dalam dirinya. Kalaupun Araska Mada mengatakan “Demi Islam” maka saya ingin juga mengatakan “Demi Bumi dan Alam Semesta Saya Forester Tidak Mungkin Pilih Ahok karena saya bukan lagi warga Jakarta”

Salam ala Forester untuk kelestarian bumi

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun